REPUBLIKA.CO.ID, - Aneh tapi nyata: apa pun yang terjadi, Amerika Serikat (AS) terus membela Israel tanpa kondisionalitas.
Amerika Serikat memberi bantuan militer dan ekonomi pada Israel se besar 3 miliar dolar setiap tahun, walaupun Israel bukan negara miskin. Di forum PBB pun, Amerika Serikat selalu pasang badan meski Israel sering melanggar hukum internasional, seperti pembangunan permukiman Yahudi secara ilegal di wilayah pendudukan Palestina.
Setiap calon presiden Amerika Serikat selalu berlomba menunjukkan kedekatan personal pada Israel, dan jarang sekali Amerika Serikat mengecam Israel meski negeri itu berkelakuan tak terpuji. Ada apa dengan perlakuan istimewa ini? Apakah karena Israel sekutu strategis Amerika Serikat di Timur Tengah?
Atau karena Israel menganut demokrasi serta memiliki nilai yang sama dengan Amerika Serikat? Klaim Israel sebagai "sekutu strategis" bagi Amerika Serikat mungkin benar pada saat Perang Dingin dulu.
Namun sekarang? Israel justru menjadi stra tegic liability (beban strategis) bagi Amerika Serikat karena membelanya habis-habisan, membuat citra Amerika Serikat terpuruk di Timur Tengah (Timteng) bahkan di dunia. Israel memang negara demokrasi mapan di Timteng, tetapi perilakunya membantai bangsa Palestina jelas tak sejalan dengan nilai Amerika Serikat.
Mengapa Israel terus dibela? Sebab, kuatnya pengaruh lobi Yahudi di Amerika Serikat (Mearsheimer dan Walt dalam The Israel Lobby and US Foreign Policy, 2008).
Lobi Yahudi adalah koalisi longgar (loose coalition) berbagai individu dan kelompok yang bersifat terbuka, bekerja sesuai hukum, canggih, dan sangat berdedikasi untuk meme ngaruhi kebijakan Amerika Serikat agar mendukung Israel.
*Kutipan artikel Yuri O Thamrin, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan UE Periode 2016-2020 dengan judul "AS dan Lobi Yahudi" yang tayang di Harian Republika, Sabtu 22 Mei 2021.