REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT - Menteri Pertanian Lebanon mengatakan runtuhnya mata uang negara itu dan pembatasan yang diberlakukan oleh Arab Saudi pada impor produk pertanian memperburuk kerawanan pangan dan menciptakan gelombang kelaparan.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Abbas Mortada mencatat bahwa ketakutan tumbuh dari hari ke hari karena Lebanon terus terkunci dalam krisis ekonomi dan politik.
Pernah dianggap sebagai Paris di Timur Tengah, Lebanon berjuang melawan krisis ekonomi yang menghancurkan selama hampir tiga tahun di tengah perang sipil yang berkepanjangan, konflik regional, dan ketidakstabilan politik.
Krisis yang dimulai pada Oktober 2019 itu semakin diperburuk dengan ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut pada Agustus lalu, yang menewaskan sedikitnya 200 orang, melukai ribuan, dan menyebabkan kerusakan material yang besar.
Karena krisis ekonomi, banyak warga Lebanon harus beralih ke pertanian untuk menghadapi kelaparan yang telah mengetuk pintu mereka selama hampir satu tahun.
Sementara itu, kekurangan mata uang asing dan devaluasi mata uang nasional menyebabkan mata uang Lebanon kehilangan lebih dari 90 persen nilainya sejak 2020 dan telah melumpuhkan negara yang bergantung pada impor itu, menyebabkan kekurangan bahan bakar, obat-obatan, dan persediaan dasar.
Mortada memperingatkan bahwa Lebanon mungkin akan meninggalkan pertanian karena penurunan nilai pound Lebanon secara terus menerus, yang melemahkan proses mengimpor barang-barang pertanian yang tidak tersedia di negara itu.
Dia meminta pemerintah mengembangkan rencana mendesak untuk menghentikan keruntuhan mata uang sehingga Lebanon tidak hanyut ke dalam krisis kelaparan yang parah.
Program Pangan Dunia (WFP) memperkirakan bahwa harga pangan di Lebanon telah mengalami peningkatan 109 persen, sementara negara tersebut mengimpor 85 persen dari kebutuhan pangannya.
WFP juga menunjukkan bahwa makanan telah menjadi perhatian utama bagi warga Lebanon, di mana sekitar setengah dari populasi negara itu khawatir tentang apakah mereka akan memiliki cukup makanan untuk dimakan.
Peningkatan ekspor pertanian
Namun, Mortada memuji pertumbuhan sektor pertanian melalui perluasan lahan pertanian dan peningkatan volume ekspor di tengah kesulitan ekonomi.
"Pertumbuhan ini diterjemahkan ke dalam peningkatan nilai ekspor pertanian, yang mencapai USD720 juta pada 2020 setelah mencatat USD625 juta pada 2019," ungkap dia.
Sang menteri menambahkan bahwa lahan pertanian yang diperluas tahun lalu mencapai sekitar 1.483 hektare.
Dia mengatakan nilai tukar dolar yang tinggi terhadap pound Lebanon membuat petani lebih memilih untuk mengekspor produk mereka ke luar negeri dengan imbalan mata uang asing daripada menjualnya di pasar Lebanon.
Sebagian besar ekspor pertanian dilakukan ke China, Eropa, dan negara-negara Arab. Namun, Mortada mencatat bahwa ekspor negara itu ke Arab Saudi dihentikan karena larangan impor produk pertanian Lebanon oleh Riyadh.
Pada April, Arab Saudi mengumumkan larangan impor buah-buahan dan sayuran dari Lebanon karena Saudi mengklaim pengiriman digunakan untuk menyelundupkan obat-obatan ke wilayah Arab Saudi.
Sebelum larangan itu, Lebanon mengekspor 25 persen dari produksi pertaniannya ke Arab Saudi, sementara 44 persennya diekspor ke negara-negara Teluk lainnya melalui Saudi.
Mortada menggarisbawahi pentingnya mencabut larangan Saudi terhadap produk pertanian Lebanon dan meminta pemerintah Lebanon menerapkan langkah-langkah efektif untuk mencegah penyelundupan obat-obatan ke wilayah Saudi.