REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melakukan pembicaraan jarak jauh dengan Presiden Cina Xi Jinping, Selasa (13/7). Salah satu yang dibahas yakni terkait masalah Muslim Uighur. Dia menyinggung penting bagi Turki bahwa Muslim Uighur hidup dalam damai sebagai warga negara yang setara dengan Cina.
"Erdogan menunjukkan bahwa penting bagi Turki bahwa orang-orang Turki Uighur hidup dalam kemakmuran dan perdamaian sebagai warga negara yang setara dengan China. Dia menyuarakan rasa hormat Turki terhadap kedaulatan dan integritas teritorial China," kata pernyataan kepresidenan Turki.
Beberapa dari 40 ribu warga Uighur yang tinggal di Turki telah mengkritik pendekatan Ankara ke Beijing. Desakan itu muncul setelah kedua negara menyetujui perjanjian ekstradisi tahun lalu.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Maret kesepakatan itu mirip dengan yang dimiliki Turki dengan negara-negara lain. Dia membantah kesepakatan itu akan menyebabkan orang-orang Uighur dikirim kembali ke China.
Ratusan orang Uighur pun memprotes perlakuan terhadap kerabat etnis mereka di China selama kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Ankara pada Maret. Beberapa pemimpin oposisi Turki menuduh pemerintah Turki mengabaikan hak-hak Uighur demi kepentingan lain dengan China. Namun hal tersebut dibantah pemerintah.
Pakar dan kelompok hak asasi PBB memperkirakan lebih dari satu juta orang, terutama dari Uighur yang berbahasa Turki dan minoritas Muslim lainnya, telah ditahan dalam beberapa tahun terakhir di sistem kamp yang luas di wilayah Xinjiang barat China.
Beijing awalnya membantah kamp-kamp itu ada, tetapi sejak itu mengatakan tempat tersebut merupakan pusat kejuruan dan dirancang untuk memerangi ekstremisme.