REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd J. Austin III mengunjung Singapura untuk melakukan kunjungan perkenalan dan memperkuat hubungan di tengah menghangatnya manuver China di Laut China Selatan.
Dalam pernyataan Kementerian Pertahanan republik (MINDEF), Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen dan Menteri Austin menegaskan kembali hubungan pertahanan bilateral yang sangat baik dan telah berlangsung lama antara Singapura dan AS.
“Kedua belah pihak menyatakan kepuasan bahwa kerja sama militer terus kuat meskipun ada pandemi Covid-19,” terang MINDEF pada Selasa (27/7).
Ng dan Austin juga bertukar pandangan tentang perkembangan geopolitik dan masalah keamanan regional, dan menyepakati pentingnya keterlibatan berkelanjutan AS di kawasan. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan, keduanya mengakui hubungan pertahanan bilateral telah berkembang ke bidang kerja sama baru seperti pertahanan dunia maya, bantuan kemanusiaan dan bencana,
MINDEF mengatakan lembaga pertahanan Singapura dan AS berinteraksi secara teratur melalui pertukaran militer, pelatihan dan kursus, dan kerja sama teknologi pertahanan. Kedua lembaga pertahanan juga memberikan dukungan jangka panjang untuk kekuatan satu sama lain di negara asal mereka, katanya.
Pada 2019, kedua negara memperbarui Nota Kesepahaman (MOU) 1990 Mengenai Penggunaan Fasilitas AS di Singapura dan menandatangani MOU tentang pembentukan Detasemen Pelatihan Tempur Angkatan Udara Republik Singapura di Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam. Itu adalah kunjungan pertama Menteri Austin ke Singapura sebagai Menteri Pertahanan AS, kata MINDEF.
Pertengahan Juli lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken menegaskan kembali posisi Washington yang menolak klaim maritim China atas Laut China Selatan dalam pertemuan dengan menteri luar negeri 10 anggota ASEAN yang digelar secara online.
Pada 2020, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan bahwa kehadiran militer AS di wilayah Laut China Selatan "tetap vital bagi kawasan Asia-Pasifik". Menurutnya, China tidak akan dapat mengambilalih peran itu di Asia Tenggara bahkan jika kekuatan militernya meningkat.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase PBB menganggap klaim China di Laut China Selatan tidak sah. Namun, China tetap berkeras bahwa mereka berdaulat atas perairan kaya sumber daya alam tersebut.
Sejak itu, pemerintahan Presiden Xi Jinping tetap membangun sejumlah instalasi militer pada beberapa pulau buatan di Laut China Selatan.