Tiga tahun lalu, Presiden AS ketika itu, Donald Trump, membatalkan kesepakatan nuklir tersebut karena menilai Iran terlalu diuntungkan. Kini, tepatnya sejak 9 April 2021, Iran dan enam negara kekuatan dunia memulai pembicaraan untuk menghidupkan kembali pakta tersebut.
Dalam pembicaraan tersebut, Presiden AS Joe Biden berusaha menghidupkan kembali kesepakatan itu disertai penambahan batasan. Di antaranya, batasan pengembangan misil Iran dan kegiatan regional Iran.
Negosiasi itu mengalami kebuntuan setelah enam putaran pertemuan yang terakhir digelar pada 20 Juni lalu. Pembicaraan tersebut lantas ditunda sejak 20 Juni, dua hari setelah Ebrahim Raisi yang disebut Barat sebagai ulama Syiah garis keras terpilih sebagai presiden Republik Islam Iran.
Sementara itu, salah satu sumber diplomasi yang tak bersedia namanya disebutkan mengatakan, Iran tidak siap melanjutkan negosiasi untuk kembali mematuhi kesepakatan nuklir 2015 sampai pemerintahan presiden terpilih Ebrahim Raisi mulai menjabat. Ia mengatakan Iran telah menyampaikan hal itu kepada pejabat-pejabat Eropa yang bertindak sebagai pelaku negosiasi tidak langsung antara Iran dan AS.
Sumber itu menyebut, belum diketahui apakah Iran siap kembali ke perundingan kesepakatan yang dikenal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) itu ketika Raisi resmi dilantik pada 5 Agustus atau saat pemerintahnya dimulai.
"Mereka tidak siap kembali sebelum pemerintahan baru," kata sumber tersebut, dikutip dari Reuters, Kamis (15/7).
JCPOA yang dibentuk mantan Presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama dan ditinggalkan mantan Presiden dari Partai Republik Donald Trump itu ditujukan untuk menahan program nuklir Iran. Sebagai imbalannya AS mencabut sanksi-sanksi ekonomi pada negara itu.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengkonfirmasi Iran telah meminta waktu. Sebab ada proses transisi presiden.
"Kami siap untuk melanjutkan negosiasi tapi Iran meminta waktu lebih banyak untuk menangani transisi presidensial mereka," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS.