REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Kais Saeid mengaku sedang menangani situasi ekonomi dan Covid-19 yang mengerikan. Ia juga menyelidiki korupsi yang merajalela usai membubarkan pemerintahan. Pernyataan itu ia sampaikan pada Rabu (28/7), menyusul tekanan kuat dari kalangan oposisi.
Saied menerapkan keadaan darurat pada Ahad untuk merebut kendali pemerintah dalam sebuah langkah yang disebut kudeta oleh musuhnya. Saied membenarkan langkah tersebut, termasuk memecat perdana menteri dan menangguhkan parlemen, dengan menyebut pandemi yang melonjak dan salah urus pemerintahan.
Saied mengaku bertindak untuk menyelamatkan negara dari korupsi dan rencana jahat untuk menabur perselisihan sipil. Kemarahan publik meningkat di Tunisia atas kelumpuhan politik yang telah menghentikan respons yang koheren terhadap pandemi dan setelah bertahun-tahun menghadapi kesulitan ekonomi dan penurunan layanan publik.
Prancis mengatakan pada Rabu bahwa sangat penting bahwa Saied segera menunjuk perdana menteri dan kabinet baru, sementara kelompok masyarakat sipil termasuk serikat pekerja yang kuat mengatakan dia harus membuat peta jalan untuk keluar dari krisis dalam waktu satu bulan.
Satu dekade setelah mengakhiri pemerintahan otokratis melalui pemberontakan rakyat, Tunisia menghadapi ujian terberat terhadap sistem demokrasinya. Negara-negara Barat yang telah memuji transisi politik Tunisi kini telah menyatakan keprihatinan mereka atas langkah Saeid.
Saied, yang mengatakan tindakannya konstitusional tetapi belum menetapkan langkah selanjutnya. Ia didesak oleh Amerika Serikat untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi. "Dia bertemu dengan kepala keamanan pada Rabu," kata kantor kepresidenan.
Tindakan Saied didukung tentara, termasuk menangguhkan parlemen selama 30 hari. Para penentang termasuk partai Islamis Ennahda, yang terbesar di parlemen, menuduhnya melakukan perebutan kekuasaan.