REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Kelompok aktivis hak asasi manusia (HAM) di Myanmar menuding militer menggunakan pandemi untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan menghancurkan oposisi. Pada Februari lalu, militer mengkudeta pemerintahan sipil Myanmar.
Anggota pendiri Special Advisory Council for Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan militer Myanmar telah berhenti membagikan alat pelindung diri dan masker. “Mereka (militer) tidak akan membiarkan warga sipil yang mereka curigai mendukung gerakan demokrasi dirawat di rumah sakit,” kata Lee yang sempat menjabat sebagai mantan pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Jumat (30/7).
Selain itu, pemerintahan militer Myanmar atau dikenal juga sebagai State Administrative Council (SAC) telah melarang penjualan oksigen kepada orang-orang yang menentang mereka. “Jadi SAC menggunakan sesuatu yang dapat menyelamatkan orang-orang untuk melawan orang-orang,” ujar Lee.
Wakil Menteri Informasi Myanmar Zaw Min Tun tidak menanggapi pertanyaan tentang tuduhan tersebut. Dalam surat kabar Global New Light of Myanmar yang diterbitkan pekan ini, beberapa artikel membahas upaya pemerintah dalam menangani pandemi. Hal itu termasuk melanjutkan vaksinasi dan meningkatkan pasokan oksigen.
Dalam salah satu artikel, Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan upaya sedang dilakukan untuk mencari dukungan PBB dan ASEAN. “Upaya harus dilakukan untuk memastikan kesehatan yang lebih baik bagi negara dan masyarakat,” ucapnya.
Sejauh ini Myanmar telah melaporkan 289 ribu kasus Covid-19 dengan korban meninggal mencapai 8.552 jiwa. Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 850 orang dilaporkan telah tewas di tangan militer.