REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Rakyat Myanmar mengalami kesulitan besar, dan menghadapi banyak masalah sejak kudeta militer 1 Februari. Hal itu dikatakan Direktur Program Pangan Dunia PBB (WFP) untuk Myanmar Stephen Anderson pada Jumat (6/8).
Anderson mencatat bahwa kemiskinan, kerusuhan, dan penyebaran pandemi Covid-19 yang cepat telah merusak kemampuan masyarakat rentan untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sendiri.
Direktur WFP untuk Myanmar Stephen Anderson berbicara pada konferensi pers PBB di Jenewa melalui konferensi video dari ibu kota Myanmar, Naypyitaw.
“Saya pikir orang-orang Myanmar sedang mengalami masa tersulit dalam ingatan mereka,” kata Anderson, seraya menambahkan bahwa mereka harus menghadapi banyak cobaan dan kejutan.
Kesulitan menumpuk sejak pengambilalihan yang menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
“Pertama-tama, ada kemiskinan, yang mendahului situasi saat ini. Tetapi sejak kudeta militer, terjadi peningkatan kerusuhan politik dan juga krisis ekonomi,” kata pejabat WFP itu.
Anderson mengatakan Myanmar dilanda gelombang kedua pandemi yang sangat sulit ketimbang tahun lalu, yang memiliki dampak menghancurkan pada mata pencaharian masyarakat.
“Dan sekarang, gelombang ketiga ini bisa dibilang seperti tsunami yang melanda negeri ini. Ini memukul semua aspek dan menciptakan malapetaka besar dalam hal kesehatan masyarakat, tetapi kita juga tahu itu akan memiliki dampak yang sangat parah pada mata pencaharian masyarakat,” ujar dia.
WFP memperingatkan bahwa operasi penyelamatan nyawanya di Myanmar terhambat oleh kekurangan dana besar, di mana lebih dari 70 persen dari kebutuhannya untuk enam bulan ke depan masih belum terpenuhi. WFP datang ke Myanmar untuk mendukung minoritas Muslim Rohingya di negara itu, yang telah menghadapi kesulitan selama bertahun-tahun, imbuh Anderson.
Dia mengatakan bahwa antara 800.000 dan satu juta warga Rohingya telah meninggalkan negara itu dan sekarang berada di distrik Cox's Bazar di Bangladesh, sementara sekitar 600.000 Rohingya tetap berada di dalam negara bagian Rakhine Myanmar, yang mana PBB berusaha mendukung minoritas yang paling rentan itu.