REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Badan konstitusional tertinggi Prancis pada Jumat menyetujui undang-undang "anti-separatisme" kontroversial yang telah dikritik karena menargetkan para Muslim, dan negara itu hanya menghapus dua pasalnya.
Rancangan undang-undang itu diserahkan ke Dewan Konstitusi oleh 60 anggota parlemen (dari total 577) dan 60 senator (dari 348), kata pernyataan Dewan Konstitusi.
Dewan itu menolak Pasal 16 undang-undang tentang penangguhan kegiatan asosiasi, dan mengatakan bahwa prosesnya bisa memakan waktu enam bulan, ini akan melanggar kebebasan berserikat.
Dia juga menolak Pasal 26 tentang pemberian atau penarikan izin tinggal kepada warga negara asing, dengan mengatakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip republik. Pasal-pasal lain dari RUU kontroversial itu juga disetujui.
Undang-undang anti-separatisme
Majelis Nasional meloloskan RUU itu bulan lalu, meskipun ada kritik keras dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri. Pemerintah mengatakan undang-undang itu dimaksudkan untuk mendukung sistem sekuler Prancis, tetapi para kritikus mengatakan undang-undang itu membatasi kebebasan beragama dan meminggirkan kaum Muslim.
RUU tersebut telah dikritik karena menargetkan komunitas Muslim Prancis – sekitar 3,35 juta, terbesar di Eropa – dan memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan anggotanya.
Undang-undang mengizinkan pejabat untuk campur tangan terhadap masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas kegiatan mereka, serta mengontrol keuangan asosiasi dan LSM milik Muslim. Aturan ini juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat home schooling harus mengikuti izin resmi.
Berdasarkan undang-undang, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau lainnya, dan "pendidikan sekularisme" diwajibkan bagi semua pegawai negeri. Prancis telah dikritik oleh organisasi internasional dan LSM, terutama PBB, karena menargetkan dan meminggirkan kaum Muslim dengan hukum.