REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini, sebuah editorial di Al-Alam, media publikasi berbahasa Arab milik Iran, memperingatkan orang-orang untuk tidak mempercayai orang Amerika seperti yang dilakukan orang-orang Afghanistan.
Orang-orang Irak, Suriah, Lebanon, Yaman dan Libya disebut menggantungkan nasib negara dan rakyat mereka dengan Amerika. Mereka percaya cara ini akan membuka pintu baru, membantu mereka memasuki masa depan yang cerah dan cemerlang. Editorial tersebut menyatakan hal yang sama ini juga pernah disampaikan oleh orang Afghanistan, yang kemudian tertipu selama 20 tahun.
Meskipun ditulis dalam bahasa Arab, Al Alam sebenarnya diterbitkan oleh negara Iran. Tidak mengherankan, jika mereka mengecam penarikan AS dari Afghanistan dengan keras. Iran telah lama memiliki hubungan permusuhan dengan AS.
Dilansir di Egypt Independent, Senin (23/8), Iran bukanlah satu-satunya negara di Timur Tengah yang berbicara seperti ini, tentang apa yang terjadi di Afghanistan ketika kelompok militan Islam Taliban mengambil alih kekuasaan.
Di Irak khususnya, penduduk setempat bertanya apakah AS masih bisa dipercaya. AS menginvasi Irak pada 2003, dua tahun setelah mereka memasuki Afghanistan dan mereka berada di negara tersebut sejak saat itu. Akankah AS terus memainkan peran mediasi dalam politik Irak? Bagaimanapun, AS baru-baru ini berjanji untuk menarik semua pasukan tempur dari Irak.
Baca juga : Sikap Negara-Negara Asia Tengah Terhadap Taliban Berubah
"Apa yang terjadi di Afghanistan akan memperdalam kesan di antara pemerintah Arab, bahwa mereka tidak dapat mengandalkan AS untuk melindungi keamanan mereka seperti dulu," kata seorang rekan senior untuk studi Timur Tengah di Dewan Hubungan Luar Negeri, Washington, dalam unggahan di situs web institusi, Elliott Abrams.
Sejauh ini, dampak utama dari peristiwa yang terjadi di Afghanistan pada negara-negara Timur Tengah adalah perkara psikologis. Kejadian tersebut meningkatkan moral bagi kelompok mana pun yang menginginkan Amerika keluar dari kawasan tersebut dan merusak kepercayaan orang-orang yang menganggap AS sebagai sekutu.
Taliban menganut Islam Sunni dan mengikuti aliran agama Deobandi yang ultra-konservatif. Namun, kelompok-kelompok Islam dari seluruh wilayah, tidak peduli apakah mereka Sunni atau Syiah, memberi selamat kepada Taliban atas kemenangan mereka.
Dari luar Jalur Gaza, Hamas, kelompok Muslim Sunni Palestina yang menguasai daerah itu, mengirim pesan memuji Taliban atas kemenangannya, yang merupakan puncak dari perjuangan panjang selama 20 tahun terakhir.
Saluran berita Telegram Irak yang dijalankan oleh kelompok militer PMF, sebagian besar Muslim Syiah dan berjanji setia kepada Iran, membuat lelucon kejam tentang penarikan AS. Mereka menerbitkan gambar seorang pria jatuh dari pesawat militer AS misalnya, mengingat peristiwa tragis di bandara Kabul awal pekan ini.
Baca juga : Ahli Imunologi Ingatkan Potensi Kemunculan Covid-22
Namun, dalam versi digital mereka, orang yang jatuh adalah Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi, yang mereka lihat sebagai musuh dan terikat pada AS.
Untuk saat ini, situasi di Afghanistan tetap cair dan dampak pengambilalihan Taliban di Timur Tengah sebagian besar bersifat emosional. Taliban mengatakan tidak akan membuat pengumuman resmi sampai akhir Agustus.
Tetapi, ketika kelompok itu benar-benar membentuk pemerintahan baru, para ahli memprediksi akan ada banyak perubahan di lapangan yang harus dilihat melalui prisma konflik jangka panjang antara Arab Saudi, yang mayoritas Sunni, dan Iran yang mayoritas Syiah.
Taliban memerintah Afghanistan antara tahun 1996 dan 2001, ketika AS menyerbu. Pada 1990-an, negara tetangga Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) adalah satu-satunya negara di dunia yang menawarkan pengakuan diplomatik kepada Taliban.
Selama bertahun-tahun, hubungan Taliban dengan Arab Saudi sangat penting. Namun hubungan ini berubah setelah 11 September 2001, ketika al-Qaeda selaku kelompok teroris Muslim Sunni yang kepemimpinannya berlindung di Afghanistan, melakukan serangan bunuh diri di AS, yang mengakibatkan kematian lebih dari 3.000 orang.
Sebagai sekutu AS, Saudi semakin dipaksa untuk menjaga jarak. UEA memutuskan hubungan diplomatik tak lama setelah serangan September 2001.
Sejak itu, Qatar perlahan-lahan melangkah ke dalam keretakan yang ada, bekerja sebagai mediator antara Taliban dan pihak lain dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2013 dan seterusnya, negara ini menjadi terkenal karena menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara resmi menjadi tuan rumah komisi politik Taliban.
Hubungan Iran dengan Afghanistan dan Taliban juga telah berubah selama bertahun-tahun. Penulis tentang kebijakan luar negeri Taliban dan direktur Penelitian Perdamaian Institut Oslo (PRIO), Kristian Berg Harpviken, menyebut kemungkinan ada lebih banyak resonansi ideologis antara Taliban dan Saudi.
"Tetapi dalam hal hubungan diplomatik, hubungan dengan Iran sekarang jauh lebih berkembang. Keduanya hampir berperang pada 1988, orang Iran tidak melupakan itu. Tapi mereka sangat pragmatis," kata dia.
Baca juga : Pedulilindungi akan Digunakan di Seluruh Moda Transportasi
Brigade Fatemiyoun disebut mewakili aspek pragmatisme yang berpotensi mengkhawatirkan. Pasukan itu terdiri dari Muslim Syiah Afghanistan yang mencari perlindungan dari penganiayaan Taliban di Iran. Mereka telah dilatih dan diperlengkapi oleh Iran dan tampaknya bertempur di Irak dan Suriah, dengan kemungkinan jumlah mereka ada sekitar 60 ribu orang.
Dalam wawancara Desember 2020, Menteri Luar Negeri Iran Javid Zarif mengisyaratkan beberapa anggota Brigade Fatemiyoun mungkin sudah kembali ke Afghanistan. "Jika oposisi terhadap Taliban muncul di Afghanistan, itu tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan eksternal yang komprehensif," kata Harpviken.
Ia lantas mempertanyakan apa yang terjadi di Riyadh saat ini dan bagaimana mereka melihat semua kejadian yang ada. Persaingan Saudi-Iran belum terlalu mencolok di tanah Afghanistan, tapi potensinya tetap ada.
Ketika berkaitan dengan pengakuan resmi atas Afghanistan yang dipimpin Taliban, negara-negara Timur Tengah disebut tidak mungkin berada di garis depan. Pakistan kemungkinan akan menjadi yang pertama.
Seorang penulis penelitian non-partisan Arab Center Washington (ACW), Joe Macaron, disebut menyampaikan kemungkinan negara lain yang menyatakan dukungan dan pengakuannya adalah China, Rusia, Turki dan Iran. Mereka sejauh ini telah mengindikasikan akan mengejar hubungan formal dengan Taliban dan siap mengakui pemerintahan Taliban di Kabul.
Lebih lanjut, Harpviken menjelaskan banyak negara Timur Tengah yang tidak ingin terburu-buru membuat marah AS, terutama setelah beberapa dari mereka menandatangani Kesepakatan Abraham. Tidak akan ada pengulangan tahun 1996, karena saat itu segalanya sangat berbeda.
"Dulu, Afghanistan dianggap sebagai daerah terpencil kebijakan luar negeri. Sekarang, hitung-hitungan bagi negara seperti Arab Saudi atau UEA untuk mengakui mereka (pemerintah Taliban) sudah jelas," ujarnya.