Rabu 25 Aug 2021 12:50 WIB

Gangguan Kesehatan Mental Meningkat Pasca-kudeta Myanmar

Jika gangguan kesehatan mental dikesampingkan, maka akan ada konsekuensi serius.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Demonstran memberikan hormat tiga jari selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Foto:

Phyu Pannu Khin mengatakan, ada trauma antargenerasi serta hilangnya masa depan dan harapan. Menurutnya, generasi muda relatif telah mengalami kebebasan di bawah pemerintahan sipil. Mereka memiliki mimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Namun mimpi mereka telah sirna seiring dengan kudeta militer.

"Untuk generasi (muda) telah mengalami kebebasan relatif di bawah pemerintahan sipil, kami telah merasakan kebebasan dan kami memiliki mimpi, jadi ini sangat menghancurkan sekarang karena semua ini telah diambil," kata Phyu Pannu Khin.

Kembalinya kekuasaan militer bukan satu-satunya penyebab depresi dan kecemasan di Myanmar. Pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir juga menjadi penyebab peningkatan kesehatan mental.

Kasus Covid-19 di Myanmar dengan cepat mulai meningkat pada Juli, ketika gelombang ketiga melanda. Hingga saat ini, Myanmar mencatat 14.499 kematian terkait Covid-19. Namun beberapa pihak menyatakan, jumlah kematian sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.

Perempuan muda Myanmar memiliki ketakutan bahwa mereka akan dibawa ke pusat penahanan. Hal itu memicu gelombang kecemasan tertentu karena banyaknya laporan kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dari kelompok etnis dan agama minoritas.

“Saya takut dengan apa yang mungkin dilakukan tentara terhadap saya. Saya memikirkan hal itu ketika saya berinteraksi dengan tentara sepanjang waktu, terutama di pos pemeriksaan,” kata Thet, seorang aktivis muda etnis di Yangon.

Thet yang tidak mau menyebutkan nama depannya mengatakan, dia mulai merasakan kecemasan ketika malam hari. Dia takut tiba-tiba anggota militer mengetuk pintu rumahnya. Tentara kerap melakukan penggerebekan dan memadamkan internet tiap malam. 

Setiap malam tiba, menjadi waktu yang sangat menakutkan bagi kebanyakan orang di seluruh Myanmar. Sebagian besar warga Myabmar mengalami kecemasan dan insomnia.

"Saya hanya bisa tidur tiga jam setiap malam," kata Thet.

Kesehatan mental di Myanmar telah lama menjadi topik yang tabu. Depresi dan kecemasan diyakini sebagai tanda kelemahan yang harus ditangani secara pribadi. Beberapa orang sudah mulai terbuka untuk berdiskusi tentang gangguan kesehatan mental yang dialaminya. Namun, masih sulit bagi mereka untuk membuka diri dan melakukan konseling seperti di negara-negara Barat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement