REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Dalam laporannya lembaga pengawas nuklir PBB, International Atomic Energy Agency (IAEA) mengatakan Korea Utara (Korut) memulai kembali aktivitas di reaktor nuklir yang diyakini memproduksi plutonium untuk senjata nuklir. IAEA menyoroti upaya Korut dalam memperkuat persenjataannya.
Dalam laporan yang dirilis Jumat (27/8) lalu itu, IAEA mengatakan tanda-tanda beroperasinya reaktor 5-megawatt (MW) yang mampu memproduksi plutonium untuk senjata nuklir pertama kali terlihat pada akhir tahun 2018.
"Sejak awal Juli 2021 sudah ada tanda-tanda yang konsisten dengan dimulai operasi, seperti dicabutnya air pendingin," kata IAEA dalam laporan mereka mengenai reaktor di komplek nuklir Yongbyon, jantung program nuklir Korut.
Sejak Pyongyang mengusir inspektor IAEA pada tahun 2009 lalu lembaga internasional itu tidak memiliki akses ke Korut. Negara itu kerap mengancam akan melanjutkan program senjata nuklir dan akan kembali melakukan ujicoba.
Terakhir kali Korut menggelar uji coba senjata nuklir dilakukan pada 2017 lalu. Kini IAEA hanya dapat mengawasi Korut dari jauh, sebagian besar dilakukan melalui satelit.
Direktur organisasi pemantau Korut yang bermarkas di Amerika Serikat (AS), 38 North, Jenny Town mengatakan citra satelit komersial menunjukkan air pendingin disingkirkan.
"Tidak ada cara untuk mengapa reaktor tidak beroperasi sebelumnya, meski dalam beberapa tahun terakhir ada upaya untuk memastikan ketersediaan di tangki untuk sistem pendingin," katanya.
"Bagi saya waktunya agak aneh, mengingat kemungkinan banjir dalam beberapa pekan atau bulan ke depan yang dapat berdampak pada operasi reaktor," ujarnya.
Tahun lalu, 38 North mengatakan banjir bulan Agustus merusak rumah pompa yang terhubung ke Yongbyon. Mereka menekankan betapa rentannya sistem pendingin reaktor nuklir di peristiwa cuaca ekstrem.
Media pemerintah Korut sudah melaporkan hujan musiman tahun ini menimbulkan banjir di beberapa wilayah. Tapi tidak ada laporan banjir membahayakan reaktor nuklir, Pusat Penelitian Ilmiah Nuklir Yongbyon.
Pada tahun 2019, mantan Presiden AS Donald Trump membuat kesepakatan dengan Pemimpin Korut Kim Jong-un. Korut akan membongkar Yongbyon dengan imbalan dicabutnya sanksi-sanksi Washington terhadap Pyongyang yang diterapkan atas program rudal dan senjata nuklir.
Pada saat itu, Trump menolak kesepakatan tersebut karena Yongbyon hanya satu bagian dari program nuklir Korut. Menurutnya, tidak cukup untuk mencapai konsensi mencabut begitu banyak sanksi.
Pemerintah Presiden AS Joe Biden telah mengatakan sudah memberi penawaran pada Korut. Tapi Pyongyang mengatakan tidak tertarik bernegosiasi bila AS belum mengubah kebijakannya.
"Sudah lama tidak ada kesepakatan yang mengatur fasilitas ini," kata peneliti James Martin Center for Nonproliferation Studies (CNS), Joshua Pollack.
Bulan Juni lalu, IAEA menandai kemungkinkan Yongbyon kembali beroperasi untuk memisahkan plutonium dari bahan bakar reaktor yang dapat digunakan untuk senjata nuklir.
Dalam laporan Jumat lalu, lembaga itu mengatakan durasi lima bulan dari pertengahan Februari hingga awal Juli menunjukkan sebagian besar bahan bakar sudah ditangani. Berbanding terbalik dengan sedikitnya waktu yang dibutuhkan untuk menangani limbah atau pemeliharaan.
"Indikasi terbaru reaktor beroperasinya (reaktor) 5MW dan laboratorium (pemrosesan) radiokimia sangat meresahkan," kata laporan tersebut.
Lembaga itu mengatakan operasi dilakukan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Selain itu, ada indikasi aktivitas penambangan dan konsentrasi di tambang uranium dan pabrik di Pyongsan serta aktivitas yang dicurigai pengayaan uranium di Kangson.