REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Setelah jatuhnya Ibu Kota Afghanistan, Kabul, Taliban berjanji membentuk pemerintah yang melindungi hak perempuan, kebebasan pers, dan jadi lebih moderat. Hal ini masih menuai pro dan kontra melihat kondisi Kabul belakangan.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Hadza Min Fadhli Robby mengatakan persoalan ini harus dilihat dan dipahami dari perspektif personal rakyat Afghanistan terlebih dulu. Berdasarkan perbincangan dengan rekan-rekannya di sana, perasaan rakyat Afghanistan disebut bercampur aduk.
"Ketidakpastian rezim memiliki efek buruk kepada kelangsungan sosial ekonomi dan budaya. Yang penting untuk Taliban bagaimana memberi atmosfer kepastian kepada rakyat Afghanistan dan itu belum terlihat," kata Hadza dalam Institute for Global and Strategic Studies (IGSS) Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (31/8).
Kondisi ini diperparah sektor keuangan dan perbankan yang semakin melemah karena International Monetary Fund (IMF) mematikan akses pendanaan ke Afghanistan. Akibatnya, ekonomi publik ikut terdampak terutama bagi orang-orang dengan pekerjaan kelas menengah.
Peneliti IGSS UII, Rizki Dian Nursita, menilai tidak mudah memprediksi dan memberikan pandangan objektif tentang apa yang akan terjadi di Afghanistan ke depannya. Negara itu sudah cukup lama dirundung konflik tidak berkesudahan.
Rakyat Afghanistan yang mengalami perang dan konflik berkepanjangan dianggap sebagai kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Marginalisasi kepada perempuan terjadi karena pemahaman dan interpretasi kaku terhadap sumber pengetahuan agama.
Baca juga : Ridwan Kamil Targetkan 37 Juta Warga Jabar Tervaksinasi
Pandangan terhadap nash yang kaku menimbulkan pembatasan wanita di ruang publik termasuk mencari pekerjaan dan mengakses pendidikan. Tentu ini tidak dibenarkan dan melanggar HAM. Apalagi muncul persepsi wanita sosok yang kurang diapresiasi.
Ada fenomena anak perempuan berperilaku seperti anak laki-laki untuk mendapat akses pendidikan (bacha posh) dan menjual-belikan anak laki-laki (bacha bazi). Situasi ini menimbulkan krisis identitas kepada diri yang kerap dialami anak-anak Afghanistan.
"Saya agak sulit memprediksi apakah Taliban akan menjalankan janji politiknya atau tidak. Kita mungkin bersikap moderat, tergantung seberapa terbuka Taliban terhadap nilai-nilai yang berasal dari luar seperti kesetaraan gender, HAM, dan lain-lain," ujar Dian.