REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pada hari-hari terakhir kekacauan pengangkutan udara Amerika Serikat (AS) di Afghanistan, Javed Habibi mendapat telepon dari pemerintah AS. Washington berjanji bahwa pemegang kartu hijau dari Richmond, Virginia, istri dan empat putrinya tidak akan tertinggal di negara itu. Habibi diberitahu untuk tinggal di rumah dan tidak khawatir, bahwa mereka akan dievakuasi.
Namun, pada Senin (30/8) malam, dia mengalami kekecewaan besar karena AS melakukan penerbangan terakhir dari Bandara Kabul. Momen ini pun ditandai dengan tembakan Taliban yang melengking, merayakan kemenangan mereka atas AS.
"Mereka berbohong kepada kami," kata Habibi tentang pemerintah AS.
Habibi merupakan satu dari ratusan warga AS dan pemegang kartu hijau yang terdampar di ibu kota Afghanistan.Bagi beberapa dari mereka yang tetap tinggal, trauma karena mencoba selama hampir dua minggu untuk masuk ke pesawat AS masih mengerikan, termasuk Habibi.
Tukang listrik yang telah tinggal di Richmond sejak 2015 dengan visa imigrasi khusus, telah kembali ke Afghanistan untuk berkunjung pertama kali pada 22 Juni karena keluarganya kembali sejak 2019. Penerbangan pulang mereka adalah 31 Agustus.
Sekitar 18 Agustus, Habibi mengaku mendapat surel dari pemerintah AS menyatakan bahwa keluarganya yang semua pemegang kartu hijau dan anak bungsu yang memiliki paspor AS akan dievakuasi. Surel berikutnya mengatakan dia harus membawa keluarganya ke bandara. Dia menurut, tetapi orang-orang mencegahnya mendekati gerbang pada dua upaya pertamanya.
Baca juga : Kim Jong-Un Waswas Covid Berdampak ke Ekonomi
Putri Habibi, Madina, yang pada usia 15 tahun memiliki bahasa Inggris yang sempurna dan berfungsi sebagai juru bicara keluarga. Dia mengatakan dirinya dan adik perempuannya hampir diinjak-injak di bandara.
Surel terus berdatangan, mengatakan mereka harus pergi ke bandara. Pada 25 Agustus, surel telah digantikan oleh panggilan telepon dari Arlington, Virginia. Para penelepon yang mengidentifikasi diri mereka berasal dari Kedutaan AS mengatakan kepada keluarga untuk tinggal di rumah dan bahwa pemerintah mengetahui lokasi keluarga itu.
Habibi mengatakan dia masih melakukan empat atau lima upaya lagi, bahkan merekrut teman dan kerabat untuk mengarungi kerumunan bersama keluarga, membentuk semacam barisan pelindung. Dia mengatakan, setidaknya dalam dua kesempatan, dia cukup dekat dengan gerbang sehingga paspornya dipindai tetapi ditolak masuk. Dia berteriak pada tentara AS, melambaikan dokumennya. "Apa artinya kartu hijau ini? Tidak. Mereka tidak melakukan apa-apa," katanya.
Wakil Menteri Luar Negeri untuk urusan politik AS, Victoria Nuland, tidak akan menangani kasus-kasus individual. Namun, dia mengatakan semua kasus warga AS dan penduduk tetap yang sah dan tidak bisa mendapatkan penerbangan evakuasi atau terdampar telah dihubungi secara individu dalam 24 jam terakhir. Mereka telah diberitahu untuk mengharapkan informasi lebih lanjut tentang rute keluar setelah itu telah diatur.
"Kami akan berkomunikasi langsung kepada mereka instruksi pribadi tentang apa yang harus mereka lakukan, kapan mereka harus melakukannya, dan bagaimana pemerintah Amerika Serikat merasa kami berada di posisi terbaik untuk membantu mereka melakukan itu," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price.
Menteri Luar Negeri Antony Blinken memuji upaya evakuasi meskipun adegan ribuan orang macet di luar gerbang bandara Kabul. Dia mengatakan antara 100 dan 200 tetap di Afghanistan, menjanjikan bahwa setiap warga AS yang ingin meninggalkan Afghanistan akan dibawa keluar.
Baca juga : Mentan Dorong Papua tak Bergantung dari Tambang