Guna mengikis stereotip yang disematkan pada Muslim di AS pasca-insiden 9/11, Mansoor Shams (39 tahun) memutuskan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Amerika. Dalam perjalanannya, dia membawa tanda bertuliskan "Saya Muslim dari Marinir AS. Tanyakan Apa Saja".
Saat berdinas di Marinir AS pada 2000-2004, Shams turut terimbas peristiwa 9/11. Rekan-rekannya di kesatuan kerap melecehkan dan mengejeknya dengan sebutan "teroris", "Taliban", serta "Osama bin Laden". Pengalaman itu pula yang mendorongnya melakukan perjalanan melintasi AS.
Selain mengikis stereotip, Shams ingin mengajari orang lain tentang Islam dan melawan kebencian lewat dialog. Salah satu interaksi paling berkesan terjadi saat dia mengunjungi Liberty University di Virginia pada 2019. Kala itu, Shams berdialog dengan para mahasiswa lembaga Kristen.
Beberapa di antara mereka, kata Shams, masih memanggilnya dengan pertanyaan tentang Islam. "Ada rasa saling mencintai dan menghormati," ucapnya.
Berbeda dengan Shams, tak lama setelah 9/11, Ahmed Ali Akbar (33 tahun) dan beberapa orang dewasa di lingkungannya menggelar pertemuan di sekolahnya di Saginaw, Michigan. Dia dan siswa berbicara tentang Islam dan Muslim.
Akbar mencurahkan isi hatinya untuk penelitian. Namun dia ingat ada beberapa pertanyaan yang membuatnya bingung. Seperti menanyakan keberadaan Osama bin Laden dan motif di balik serangan 9/11. "Bagaimana saya bisa tahu di mana Osama bin Laden berada? Saya anak Amerika," ujar Akbar.
Kala itu, Akbar berpikir mencoba mengubah pikiran tidak selalu efektif. Menurutnya beberapa orang tidak siap mendengarkan. Akbar akhirnya mengalihkan fokusnya untuk bercerita tentang Muslim Amerika di podcast-nya "See Something Say Something".
"Ada banyak humor dalam pengalaman Muslim Amerika juga. Ini bukan hanya kesedihan dan reaksi terhadap kekerasan serta rasialisme dan Islamofobia," kata Akbar.
Dia pun menjadi percaya dalam membangun koneksi dari jenis yang berbeda. "Pertempuran kami untuk kebebasan sipil kami, terikat dengan komunitas terpinggirkan lainnya," ujarnya.
Sementara imam Ali Aqeel dari Muslim American Cultural Center di Nashville, Tennessee, mengatakan perjuangannya sebagai Muslim Afrika-Amerika berkutat pada isu ras dan identitas. "Ketika kami pergi ke pusat-pusat (Islam) dan kami harus menghadapi rasa sakit yang sama seperti yang kami alami di dunia. Itu membuat kami putus asa karena kami mendapat kesan bahwa (dalam) Islam, Anda tidak memiliki perbedaan ras dan etnis," ucapnya.