REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - ASEAN dan Barat mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri sepenuhnya dari tindakan kekerasan dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke negara tersebut, Rabu (8/9). Hal ini menyusul seruan pemerintah bayangan penentang junta untuk memberontak.
Pada Selasa (7/9), kubu oposisi junta, National Unity Government (NUG) menyatakan 'perang defensif rakyat' melawan junta. Seruan itu didukung oleh kelompok mahasiswa dan etnis bersenjata.
NUG berupaya mengoordinasikan mereka yang memerangi militer serta menyerukan pasukan dan pejabat untuk beralih pihak. Seorang juru bicara militer menolak seruan tersebut. Menurutnya, seruan NUG adalah taktik untuk mendapatkan perhatian dunia dan tak akan berhasil.
Belum ada laporan hingga Rabu mengenai perlawanan maupun aksi-aksi melawan junta, meskipun pasukan keamanan telah mengerahkan kekuatan di Yangon. Sehari sebelumnya, memang terjadi protes dan bentrokan antara tentara dan pemberontak etnis minoritas.
"Semua pihak harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah. Menurutnya, bantuan kemanusiaan hanya dapat didistribusikan jika situasi di lapangan aman.
Indonesia memimpin di ASEAN dalam menyelesaikan krisis yang dipicu ketika militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Pasukan keamanan telah membunuh ratusan pendukung demokrasi yang memprotes. Beberapa penentang kekuasaan militer juga telah membentuk kelompok-kelompok bersenjata di bawah panji Tentara Pertahanan Rakyat.
Mereka telah menjalin aliansi dengan kelompok etnis minoritas yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri yang telah lama memandang tentara Myanmar sebagai musuh mereka. Namun masih harus dilihat sejauh mana NUG dapat memengaruhi negeri.