REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menyatakan keprihatinannya terhadap struktur pemerintahan sementara yang dibentuk Taliban di Afghanistan, Rabu (8/9).
Daftar kabinet yang diumumkan pada Selasa seluruhnya diduduki para pemimpin gerakan militan dan veteran perang gerilya yang berakhir dengan kemenangan Taliban pada Agustus lalu dan mengakhiri peperangan dua dekade di negara itu. Negara-negara besar memberitahu Taliban mereka perlu memiliki pemerintahan inklusif yang mendukung janji mereka melakukan pendekatan yang lebih humanis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia jika mereka menginginkan perdamaian dan pembangunan.
"Pengumuman pemerintah transisi tanpa keterlibatan kelompok lain dan kekerasan kemarin terhadap pengunjuk rasa dan wartawan di Kabul bukanlah sinyal yang memberikan kami alasan untuk optimistis," kata Maas sebelum bertemu dengan mitranya dari AS.
Namun, Maas mengatakan mereka bersedia melanjutkan pembicaraan dengan Taliban untuk memastikan lebih banyak orang dapat meninggalkan negara tersebut. Menurutnya, Afghanistan menghadapi tiga krisis secara bersamaan.
Selagi krisis pangan melanda banyak wilayah di Afghanistan akibat kekeringan, pengiriman dana bantuan internasional dibekukan. "Dan jika pemerintahan yang baru tidak mampu menjalankan urusan negara, muncul ancaman kehancuran ekonomi setelah kehancuran politik - dengan konsekuensi (krisis) kemanusiaan yang lebih drastis," kata Maas.
Sebelum bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di pangkalan militer AS di Ramstein, Maas menekankan perlunya koordinasi yang erat. Dia mengatakan mereka akan membahas bagaimana berurusan dengan Taliban dan bagaimana mengevakuasi lebih banyak orang dari negara tersebut.