REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Dua wartawan Afghanistan dipukuli dalam tahanan polisi setelah meliput demonstrasi di Kabul, kata pemimpin redaksi Etilaat Roz, surat kabar tempat mereka bekerja.
Zaki Daryabi, pendiri dan pemimpin redaksi (pemred) Etilaat Roz, membagikan foto-foto kedua wartawan itu di media sosial. Salah satu foto memperlihatkan bekas pukulan di punggung bawah dan kaki, foto lainnya memperlihatkan bekas pukulan di bahu dan lengan. Wajah kedua wartawan itu juga tampak memar dan terluka, menurut foto yang dilihat dan diverifikasi oleh Reuters.
Ketika ditanya soal insiden itu, seorang menteri Taliban dalam pemerintahan baru mengatakan bahwa setiap serangan terhadap wartawan akan diselidiki. Dia menolak untuk disebut namanya. Daryabi mengatakan insiden pemukulan itu membawa pesan mengerikan kepada media di Afghanistan, di mana pers yang independen, sebagian besar didanai oleh pendonor Barat, telah berkembang dalam 20 tahun terakhir.
"Lima rekan kami ditahan di pusat penahanan selama lebih dari 4 jam, dan selama empat jam itu dua rekan kami dipukuli dan disiksa secara brutal," katanya kepada Reuters pada Kamis (9/9), sehari setelah kejadian.
Dia mengatakan kedua wartawan yang terluka dibawa ke rumah sakit dan dokter menyarankan mereka untuk beristirahat dua pekan. Taliban, yang memerintah Afghanistan lagi setelah memberontak selama 20 tahun melawan pasukan asing dan pemerintah Afghanistan, sebelumnya berjanji untuk mengizinkan media beroperasi dan menghormati hak asasi manusia. Tapi insiden kekerasan sejak mereka berkuasa telah memicu keraguan di kalangan warga Afghanistan.
Baca juga : Program Kartu Prakerja Gelombang 20 Dibuka, Ini Syaratnya
Taqi Daryabi, satu dari dua wartawan Etilaat Roz itu, mengatakan tujuh atau delapan orang memukuli mereka selama sekitar 10 menit. "Mereka mengangkat tongkat dan memukuli kami sekuat tenaga. Setelah mereka memukuli kami, mereka melihat kami pingsan. Mereka membawa kami untuk dikurung di sel bersama beberapa orang lainnya," kata dia.
Reuters belum dapat memverifikasi pengakuannya secara independen. Saat Taliban memerintah negara itu pada 1996-2001, tidak ada media yang independen dan internet masih dalam perkembangan. Sejumlah wartawan telah mengeluhkan adanya serangan sejak Taliban berkuasa lagi.
Beberapa perempuan mengatakan mereka tidak diizinkan untuk bekerja di sektor media. Dalam pemerintahan Taliban yang pertama, perempuan dilarang bekerja dan bersekolah. Kelompok militan itu mengatakan dalam beberapa pekan terakhir bahwa perempuan akan diizinkan untuk bekerja dan belajar di perguruan tinggi berdasarkan aturan hukum syariat.
"Dengan keruntuhan pemerintah secara tiba-tiba, Etilaat Roz semula memutuskan untuk bertahan dan beroperasi dengan harapan tak akan ada lagi masalah besar bagi media dan jurnalis," kata Daryabi.
"Namun dengan kejadian kemarin, harapan kecil yang saya miliki tentang masa depan media dan jurnalis di negara ini, hancur."