REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan respons internasional mendesak terkait krisis politik yang berlangsung di Myanmar. Dia khawatir cengkeraman militer atas negara tersebut kian sulit dilawan.
“Sangat mendesak untuk meningkatkan tanggapan internasional dan regional terpadu guna membantu mengembalikan Myanmar ke jalur reformasi demokrasi,” kata Guterres dalam sebuah laporan PBB tentang situasi hak asasi manusia (AHM) Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar yang dirilis pada Rabu (29/9).
Dia mengungkapkan, upaya internasional harus disertai dengan pembebasan segera Presiden Myanmar Win Myint dan Kanselir Myanmar Aung San Suu Kyi. Keduanya diketahui ditangkap bersama sejumlah pejabat lainnya pada Februari lalu saat militer melancarkan kudeta.
Guterres pun menekankan pentingnya akses dan bantuan kemanusiaan, terutama bagi komunitas rentan, salah satunya Muslim Rohingya. Ia mengingatkan kembali bahwa banyak masyarakat Rohingya yang kini tinggal di pengasingan di Bangladesh dan tempat lainnya.
Guterres mengatakan penting untuk mendukung aspirasi demokrasi rakyat Myanmar. “Peluang untuk mencegah militer memperkuat kekuasaannya bisa menyempit,” ucapnya.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun, militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 1.000 orang dilaporkan telah tewas di tangan militer.