REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Ekonomi Afghanistan mungkin mengalami kontraksi hingga 30 persen tahun ini dengan penurunan impor, depresiasi, dan percepatan inflasi di Afghanistan, kata Dana Moneter Internasional (IMF) dalam sebuah laporan pada Selasa.
“Afghanistan telah mengalami banyak guncangan setelah kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan,” kata IMF dalam Laporan Ekonomi Regional untuk Timur Tengah dan Asia Tengah.
"Dengan dihentikannya bantuan non-kemanusiaan dan sebagian besar aset asing dibekukan, ekonomi Afghanistan yang bergantung pada bantuan menghadapi krisis fiskal dan neraca pembayaran yang parah. Kekurangan uang tunai dan hilangnya hubungan perbankan koresponden telah melumpuhkan bank-bank Afghanistan," tambah IMF.
Organisasi internasional itu mengatakan gejolak di Afghanistan, ditambah dengan pandemi dan kekeringan, telah mendorong ekonomi rapuh negara itu ke dalam krisis yang mencakup penurunan penghasilan, kelumpuhan bank, dan meningkatnya kemiskinan.
IMF memperingatkan bahwa penurunan standar hidup mengancam jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan dan itu dapat menyebabkan krisis kemanusiaan.
"Gejolak di Afghanistan diperkirakan akan menghasilkan dampak ekonomi dan keamanan yang penting ke kawasan dan sekitarnya. Ini telah memicu migrasi internal dan dapat memicu lonjakan pengungsi ke negara-negara tetangga, Turki, dan Eropa," kata laporan tersebut.
IMF juga telah meningkatkan prospek pertumbuhannya untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), yang sekarang diperkirakan akan meningkat 4,1 persen pada 2021 dan 2022 – masing-masing naik 0,1 dan 0,4 poin persentase, dari perkiraan sebelumnya yang dibuat pada April.
Lembaga ini memperkirakan inflasi di wilayah MENA naik menjadi rata-rata 12,9 persen tahun ini dan 8,8 persen tahun depan – juga masing-masing naik 0,1 dan 0,2 poin persentase, dari perkiraan pada April.