REPUBLIKA.CO.ID, ADDISABABA -- Uni Afrika menangguhkan semua aktivitas Sudan di blok tersebut sampai kekuasaan sipil di negara itu dikembalikan. Uni Afrika mengecam keras kudeta yang dilakukan militer dan menyebutnya 'tidak konstitusional'.
Pada Senin (25/10) lalu Jenderal Sudan Abdel Fattah al-Burhan memerintahkan pembubaran pemerintah dan mendeklarasikan masa darurat negara. Sejak itu ribuan rakyat turun ke jalan menentang kekuasaan militer.
Pada Juni 2019 lalu Uni Afrika menangguhkan aktivitas Sudan setelah pengunjuk rasa pro-demokrasi ditembak di depan markas besar tentara di Khartoum. Keanggotaan Sudan dikembalikan tiga bulan kemudian.
Setelah Perdana Menteri Abdullah Hamdok mengumumkan kabinet pertama Sunda sejak diktator Omar al-Bashir digulingkan. Kini Hamdok dan istrinya sudah pulang ke rumah setelah sempat ditahan angkatan bersenjata.
Pada Selasa (26/10) kantor perdana menteri Sudan mengatakan Hamdok 'diawasi dengan ketat'. Tapi para menteri dan pemimpin sipil lainnya dalam tahanan militer.
Pulangnya Hamdok hanya sedikit menyenangkan pengunjuk rasa yang mendukung pemerintahan transisi yang dipimpin sipil. Unjuk rasa masih terus berlangsung meski pasukan keamanan melakukan sejumlah penangkapan dan mendobrak barikade di Khartoum.
Tiga orang tokoh pro-demokrasi ditangkap pada Rabu malam. Organisasi dokter mengatakan empat orang tewas saat tentara melepas tembakan ke pengunjuk rasa.
Jaringan internet diblokir sementara toko-toko di seluruh ibukota juga ditutup setelah seruan kampanye pembangkangan sipil disebarkan. Asosiasi Profesional Suidan yang menjadi instrumen inti unjuk rasa anti-Bashir dua tahun yang lalu juga mengajak 'jutaan orang menggelar protes' pada 30 Oktober.