REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Para pemimpin Kelompok 20 (G20) diharapkan sepakat untuk mengatasi perubahan iklim pada hari terakhir pertemuan puncak di Roma pada Ahad (31/10). Kesepakatan ini diperkirakan akan mengatur nada untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Glasgow, Skotlandia atau COP26 selama dua pekan ke depan.
Negara-negara yang mewakili lebih dari tiga perempat emisi gas rumah kaca dunia ini sedang mencari titik temu tentang cara mengurangi emisi. Mereka pun mencoba membantu negara-negara miskin mengatasi dampak kenaikan suhu.
Jika KTT G-20 berakhir dengan hanya komitmen yang lemah, momentum bisa hilang untuk pembicaraan tahunan yang lebih besar di Glasgow. Pada acara tersebut negara-negara dari seluruh dunia akan diwakili termasuk yang miskin yang paling rentan terhadap naiknya air laut, penggurunan, dan efek lainnya.
Masa depan batu bara yang merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca telah menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk disepakati oleh G-20. Namun, menurut pejabat senior Amerika Serikat (AS), negara itu dan negara-negara lain berharap mendapatkan komitmen untuk mengakhiri pembiayaan luar negeri untuk pembangkit listrik tenaga batu bara.
Negara-negara Barat telah beralih dari pembiayaan proyek batu bara di negara-negara berkembang. Ekonomi utama Asia sekarang melakukan hal yang sama. Presiden China Xi Jinping mengumumkan di pertemuan Majelis Umum PBB bulan lalu bahwa negaranya akan menghentikan pendanaan proyek-proyek tersebut. Sedangkan Jepang dan Korea Selatan membuat komitmen serupa di awal tahun.