Rabu 03 Nov 2021 07:14 WIB

Taliban Larang Gunakan Mata Uang Asing di Afghanistan

Penggunaan dolar AS tersebar luas di pasar Afghanistan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
Pengungsi internal menerima bantuan makanan yang didistribusikan oleh organisasi bantuan Jerman di Kabul, Afghanistan, 27 Oktober 2021.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Pengungsi internal menerima bantuan makanan yang didistribusikan oleh organisasi bantuan Jerman di Kabul, Afghanistan, 27 Oktober 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Taliban mengumumkan pelarangan total penggunaan mata uang asing di Afghanistan pada Selasa (2/11). Langkah itu dinilai bakal memicu gangguan lebih lanjut pada perekonomian negara tersebut yang telah terpuruk.

“Situasi ekonomi dan kepentingan nasional negara ini mengharuskan semua warga Afghanistan menggunakan mata uang Afghanistan dalam setiap perdagangan mereka,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) tersebar luas di pasar Afghanistan. Sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga, seperti Pakistan, untuk transaksi perdagangan.

Krisis ekonomi Afghanistan kian memburuk sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di negara tersebut pada pertengahan Agustus lalu. Selain menghadapi krisis uang tunai, Afghanistan juga menghadapi kelaparan massal.

Afghanistan sebenarnya memiliki aset miliaran dolar di luar negeri dengan Federal Reserve AS dan bank sentral lainnya di Eropa. Namun uang tersebut telah dibekukan sejak Taliban menggulingkan pemerintahan yang didukung Barat.

Meskipun negara-negara Barat ingin mencegah bencana kemanusiaan di Afghanistan, mereka menolak mengakui pemerintahan Taliban. Pekan lalu, mantan utusan khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, mengatakan pemerintahan Presiden Joe Biden harus terlibat dengan Taliban. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan guna meringankan krisis kemanusiaan yang terjadi di sana.

“Kita perlu duduk bersama mereka (Taliban) untuk menyetujui peta jalan yang memperhitungkan masalah ketidakpercayaan satu sama lain dan perilaku mereka (terhadap hak asasi manusia) yang kita harapkan akan terjadi, dan sebagai gantinya, langkah-langkah spesifik yang bakal kami ambil,” kata Khalilzad pada Rabu (27/10), dikutip laman Aljazirah.

Menurut dia, membiarkan pemerintahan baru Taliban berantakan akan memicu krisis kemanusiaan besar di Afghanistan. Jutaan warga di negara itu pun berpotensi melakukan migrasi. Dampaknya dapat menciptakan krisis di kawasan dan membuka ruang untuk terorisme.

Khalilzad mengungkapkan, saat ini Taliban sedang berupaya membangun hubungan normal dengan AS. Taliban berharap Washington membuka kembali kedutaannya di Kabul. Selanjutnya, AS diharapkan akan mencabut sanksi terhadap Afghanistan.

“Taliban telah berubah dalam beberapa hal dan sama dalam hal lain. Mereka tetap berpegang pada perjanjian untuk tidak mengizinkan persekongkolan dan perencanaan oleh kelompok teroris melawan AS,” kata Khalilzad. 

 

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement