Tercatat lebih dari lima juta orang telah meninggal sejak pandemi COVID-19 melanda dunia hampir dua tahun yang lalu.
Ini adalah cerita di balik angka kematian yang dirangkum dari berbagai belahan dunia.
Jakarta, Indonesia
Aslinda Idris dikenal sebagai ibu yang baik untuk kedua putranya dan teman yang penuh perhatian pada teman-temannya.
Dilahirkan di Jambi 56 tahun yang lalu, Aslinda bermukim di Jakarta setelah ia dinikahi Bakhriar Effendi. Mereka dikaruniai dua orang anak, Razan Gassani dan Randy Arrahman.
Razan merasa beruntung masih bisa bersama ibunya selama dua bulan terakhir sebelum Aslinda meninggal karena COVID-19 pada 8 Agustus lalu.
"Saya sebelumnya kerja di Surabaya selama 2 tahun dan bulan Juni lalu saya dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta.
"Karenanya saya masih bisa bersama Mama selama beberapa bulan," kata Razan.
Aslinda Idris adalah satu dari lima orang yang meninggal karena COVID-19, menurut angka resmi yang diriis oleh Johns Hopkins University di Amerika Serikat, meski diperkirakan bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari ini.
Razan mengatakan sekembalinya ke Jakarta, dia bersama dengan ayah, ibu dan adiknya setiap akhir pekan naik sepeda bersama di komplek olahraga Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta.
"Selama empat minggu, kami berempat setiap minggu gowes bersama di GBK.
"Itulah pengalaman yang saya ingat terus menghabiskan beberapa waktu terakhir dengan mama," katanya kepada ABC.
Ibunya, Aslinda, meninggal setelah dirawat selama lima minggu di rumah sakit.
Saat itu Indonesia sedang mengalami masa-masa puncak penularan kasus karena varian Delta, dengan angka kasus harian di pertengahan Juli melebihi 50 ribu orang.
Jumlah kasus COVID-19 secara keseluruhan di Indonesia sekarang sudah menembus 4,2 juta kasus, dengan angka kematian lebih dari 143 ribu.
"Kami tidak tahu dari mana Mama mendapatkan virus. Dia sakit seminggu sebelum kemudian menjalani tes," kata Razan.
Aslinda sempat membaik di minggu keempat, tapi tingkat saturasi oksigennya menurun lagi.
"Dokter mengatakan paru-parunya sudah rusak karena serangan virus," kata Razan lagi.
Kini, dua bulan setelah kehilangan ibunya, Razan mengatakan keluarganya masih berusaha menyesuaikan diri tanpa kehadiran Aslinda.
Razan menuturkan, ayahnya yang baru pensiun di bulan Agustus agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bahkan sekarang berpikir untuk kembali bekerja.
"Sekarang Bapak berpikir mau kerja lagi karena Mama sudah tidak ada," kata Razan.
Keluarga itu juga memilih untuk menyimpan sepeda yang mereka gunakan di gudang untuk sementara waktu.
"Bapak menyimpan sepeda-sepeda karena itu mengingatkannya pada Mama."
Delhi, India
Seema Awasthi sebelumnya adalah seorang guru dan kepala sekolah di India yang juga orang tua tunggal yang membesarkan sendiri dua anak perempuannya.
Putrinya Prachi menggambarkan ibunya sebagai seseorang yang penuh semangat dalam hidup dan sudah berencana untuk berlibur dengan kedua anaknya sebelum pensiun.
"Dia adalah seseorang yang sudah mengubah kehidupan banyak orang.. betul-betul susah mendapatkan pengganti seperti Ibu saya," kata Prachi.
Pesan terakhir yang didapat dari ibunya adalah pukul 18:40 malam tanggal 23 April 2021.
Beberapa jam kemudian Seema meninggal.
Seema adalah satu dari sedikitnya 21 orang pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit di Delhi Barat Daya yang meninggal malam itu karena rumah sakit kekurangan oksigen.
"Malam itu, malam yang tidak pernah akan saya lupakan," kata Prachi.
Prachi ingat betul sikapnya yang berhati-hati di awal pandemi dengan tidak mengizinkan ibunya pergi ke mana-mana, tapi dia tidak banyak tahu mengenai COVID-19 dan apa yang akan terjadi.
Setahun kemudian, varian Delta muncul.
"Kami tidak pernah membayangkan akan muncul korban massal, orang meninggal bahkan di jalan-jalan," katanya.
Prachi mengatakan ibunya mungkin masih akan hidup bila rumah sakit di India tidak kekurangan oksigen.
Dokter sempat mengatakan kepada keluarga bahwa Seema mulai sembuh, tapi masih memerlukan oksigen meski tidak sesering sebelumnya.
Dalam percakapan video call, nada suara ibunya menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Tetapi keluarganya kemudian mendapat informasi bahwa Seema harus menggunakan ventilator.
Mereka kemudian segera ke rumah sakit namun dokter mengatakan Seema meninggal dunia walaupun sudah mendapat bantuan pernapasan.
Dr D K Baluja dokter di rumah sakit tersebut mengatakan kepada media lokal ketika itu bahwa mobil tangki yang seharusnya membawa persediaan oksigen tidak datang.
Prachi mengatakan saat itu seharusnya keluarganya diberi tahu sehingga mereka bisa mencari oksigen sendiri.
"Bila kami tidak bisa mendapat tabung oksigen, itu cerita lain lagi, hal yang mungkin bisa kami terima karena paling tidak kami sudah berusaha mencari.
"Kami merasa tidak diberi kesempatan bahkan untuk berusaha mencari sendiri."
Wuhan, China
Zhang Hai adalah salah satu orang di dunia yang pertama-tama kehilangan orangtua karena COVID-19.
Ayahnya Zhang Lifa adalah veteran militer yang bekerja untuk program senjata nuklir China dan meninggal sebulan sebelum merayakan ulang tahun ke-77.
Zhang Lifa adalah satu dari 304 orang yang meninggal karena virus corona pada 1 Februari 2020,
Ketika itu, penyakit baru ini bahkan belum ada namanya - karena baru disebut resmi sebagai COVID-19 sepuluh hari kemudian pada tanggal 11 Februari, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sebagai pandemi global sebulan sesudahnya yaitu tanggal 11 Maret.
Meski banyak warga Wuhan yang ingin mendapatkan jawaban di saat mereka meratapi keluarganya yang pergi karena pandemi, Zhang Hai memutuskan untuk berbicara dengan media asing, saat yang lain takut dimusuhi oleh pemerintah China.
"Saya warga China yang sangat patriotik, tetapi mencintai negara bukanlah berarti kita tidak boleh meminta pertanggungjawaban pihak berwenang," kata Zhang Hai.
"Virus ini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan sudah mengambil nyawa begitu banyak orang."
Zhang Hai belum menyebarkan abu ayahnya, kebiasaan dalam keluarga China yang menandakan arwah seseorang bisa beristirahat dengan tenang.
"Saya ingin mengatakan kepada Ayah saya bahwa saya bukanlah seorang pahlawan, saya hanya seorang warga biasa," kata Zhang.
"Namun, saya bukanlah seorang pengecut.
"Untuk semua orang yang kehilangan orang yang dicintai selama pandemi, tetaplah tabah dan menjaga diri masing-masing.
"Saya berharap kita semua bisa melakukan yang terbaik untuk mendesak pemerintah melakukan penyelidikan mengenai COVID-19, tanpa memandang asal-usul negara dan suku bangsa."
Cremona, Italy
Cremona dikenal sebagai 'kota biola' namun bulan Maret tahun lalu, kota tersebut dan wilayah sekitarnya yang masuk dalam wilayah Lombardi menjadi pemberitaan karena tingginya kematian karena COVID-19.
Pada awal April 2020, pemain biola Lena Yokoyama berdiri di atas menara lonceng di Cremona memainkan biolanya di tengah suasana jalan-jalan yang sepi.
Beberapa hari kemudian Yokoyama tampil lagi, kali ini di atap sebuah rumah sakit di mana petugas kesehatan sedang berjuang menangani COVID-19 dengan alat pelindung diri yang terbatas.
Tidak lama kemudian tanggal 19 April 2020, dokter spesialis syaraf Dr Luciano Abruzzi mengembuskan napas terakhirnya.
"Pasien pertama dalam karier saya adalah Ayah saya sendiri, yang terkena COVID, penyakit yang belum banyak diketahui dan yang sudah memakan korban jutaan orang di dunia," kata putranya Dr Dario Abruzzi.
Ayahnya terkena virus di pertengahan Maret. Pada awalnya Dario menangani ayahnya di kamar terpisah di rumahnya menggunakan tabung oksigen, tapi ayahnya harus dibawa ke rumah sakit.
Hari ketika Dr Abruzzi senior masuk ke ruang gawat darurat di rumah sakit adalah hari di mana Dario menjadi dokter.
"Pesan terakhirnya kepada saya pagi itu setelah mendengar saya resmi jadi dokter adalah "Selamat. Ini adalah awal kariermu. sekarang giliranmu," kata Dario.
"Saya kadang masih terus mengingat kembali masa-masa menyedihkan yang saya dan keluarga saya alami.
"Di saat-saat itu saya menyadari bahwa saya sekarang menjadi dokter seperti yang pernah dilakukannya: dokter yang dihormati banyak orang yang sudah memberikan seluruh kehidupannya untuk pekerjaan dan para pasien."
Kokopo, PNG
Ibu empat anak bernama Joanne Schulz ini menjadi warga Papua Nugini pertama yang terkena COVID-19 di bulan Maret 2020.
Dia masih tidak tahu dari mana dia mendapatkan virus tersebut.
Identitasnya yang dibocorkan setelah dia dinyatakan positif membuatnya sangat kecewa.
"Saya menjadi sasaran di media sosial, mendapat ancaman, orang-orang ini mengancam membakar rumah saya, mereka mau saya dibunuh," katanya.
"Mereka ingin saya diusir dari desa saya karena pada waktu itu kami tidak memiliki fasilitas untuk isolasi.
"Saya kira kekhawatiran utama saya sebagai seorang ibu adalah 'bagaimana saya melindungi anak-anak saya dari publik dan dari stigma?"
Teori konspirasi dan banyaknya berita palsu merebak di PNG sejak awal-awal masa pandemi.
Sekarang negeri itu sedang mengalami gelombang ketiga yang mematikan. Dilaporkan bahwa kamar-kamar jenazah penuh dan di beberapa kota tidak ada peti mati yang tersedia.
PNG masih menjadi salah satu negara dengan tingkat vaksinasi terendah di dunia dengan hanya 3 persen warga sudah divaksinasi.
Yang menjadi masalah adalah kurangnya pasokan vaksin, meskipun marak pula informasi palsu yang membuat banyak warga ragu-ragu untuk divaksinasi.
Joanne Schulz berprofesi sebagai relawan tenaga kesehatan selama bertahun-tahun, setelah dia ditembak di bagian muka di tahun 2014.
Peluru menembus pipinya dan merusak lidah sehingga dia tidak bisa berbicara selama beberapa minggu.
Atas peristiwa tersebut, dia kemudian berjanji kepada Tuhan untuk membaktikan diri menjadi tenaga kesehatan.
Keluarga berjuang bagi keadilan
Bagi beberapa keluarga yang kehilangan orang tua karena COVID seperti Zhang Hai di China dan Prachi Awasthi di India, kehilangan itu sekarang digantikan dengan usaha untuk menemukan jawaban.
Perjuangan bagi hidup Seema sekarang berubah menjadi pengakuan dari pihak berwenang mengenai sebab kematian anggota keluarga tercinta.
Surat resmi dari rumah sakit hanya menyebut kematian sebagai karena COVID-19, bukan karena kurangnya persediaan oksigen di rumah sakit.
Tim pencari fakta sekarang sudah dibentuk untuk menyelidiki penyebab kematian karena kurangnya persediaan oksigen selama gelombang kedua penularan varian Delta.
Namun, fokus utamanya kini adalah kompensasi bagi anggota keluarga dan bukan siapa yang bertanggung jawab.
"Ini akan bisa menjadi penghibur kecil bila kami bisa memenangkan perjuangan mencari keadilan ini," kata Prachi.
"Saat ini sulit sekali untuk memahami mengapa hal seperti ini bisa terjadi.
"Secara pribadi saya masih tidak percaya. Saya masih merasakan kehadiran ibu saya di rumah."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News