REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir, kekeringan, gagal panen dialami petani di Henan. Mereka menderita akibat perubahan iklim. Ancaman lain di provinsi pesisir China ini adalah kenaikan permukaan laut yang meningkat terus. Hal itu dikisahkan oleh Wang Yuetang, petani di Henan, China.
Sepatu kets Wang Yuetang tenggelam ke dalam lumpur di area yang dulunya adalah ladang jagung dan kacang tanah. Dia mengamati kerusakan ladangnya yang disebabkan oleh iklim yang tidak stabil.
Tiga bulan setelah hujan deras membanjiri sebagian besar wilayah pusat Provinsi Henan, jantung pertanian China itu masih terendam dalam beberapa inci air. ''Tahun ini tidak ada panen. Semuanya hilang,'' kata Wang. "Petani di dataran rendah pada dasarnya tidak panen, tidak ada hasil apapun," keluhnya.
Pada akhir Oktober lalu tanahnya terlalu basah untuk ditanami tanaman musim berikutnya, gandum musim dingin. Di pertanian terdekat lainnya, batang kacang tampak layu dan kubis membusuk terayun-ayun di air yang lembab, dikerubuti lalat yang berdengung.
Sebagian jagung bisa diselamatkan, tetapi karena sekamnya berjamur. Ini hanya bisa dijual sebagai pakan ternak, yang harganya lebih rendah.
Bencana banjir kali ini adalah yang terburuk dialami petani Wang dalam 40 tahun terakhir. Hal ini ditengarai oleh kondisi ekstrem yang mungkin dihadapi negara tersebut saat planet makin menghangat dan pola cuaca yang menjadi sandaran petani semakin meningkat ketidakstabilannya.
"Saat atmosfer menghangat, udara dapat menahan lebih banyak kelembaban, jadi ketika badai terjadi, dapat menurunkan curah hujan yang lebih ekstrem,'' ujar Richard Seager, seorang ilmuwan iklim di Universitas Columbia.
"Sangat mungkin bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan banjir ekstrem yang Anda lihat pada musim panas ini di tempat-tempat seperti China dan Eropa.''