Ahad 07 Nov 2021 16:09 WIB

Cerita Petani di China yang Menderita Akibat Perubahan Iklim

Perubahan iklim membuat petani China menderita saat hujan, sengsara saat panas.

 Orang-orang berjalan di jalan yang banjir setelah hujan deras yang melanda kota Zhengzhou di provinsi Henan, China tengah, Selasa, 20 Juli 2021 (dikeluarkan 21 Juli 2021). Banjir besar di China Tengah menewaskan 12 orang di kota Zhengzhou akibat curah hujan kemarin, 20 Juli 2021.
Foto:

Kenaikan permukaan air laut mengancam pesisir

China, negara terpadat di dunia, dengan 1,4 miliar orang, bertanggung jawab atas sekitar 28 persen emisi karbon dioksida yang menghangatkan Bumi. Amerika Serikat tetap tercatat sebagai pencemar terbesar dalam sejarah.

Saat para pemimpin dunia ambil bagian minggu ini dalam konferensi iklim, China dikritik karena tidak menetapkan garis waktu yang lebih ambisius untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil.

Presiden Cina, Xi Jinping, yang belum meninggalkan China sejak awal pandemi COVID-19, tidak menghadiri KTT itu tapi mengirim negosiator veteran, yang mengatakan bahwa China tidak bisa meninggalkan emisi karbon negara sebelum tahun 2030.

Proyeksi pemerintah China melukiskan visi yang mengkhawatirkan tentang masa depan. Naiknya permukaan  air laut mengancam kota-kota pesisir besar, termasuk Shanghai, Guangzhou dan Hong Kong.

Gletser yang mencair dan permafrost yang membahayakan pasokan air dan proyek infrastruktur seperti rel kereta api di seluruh dataran Tibet. Ilmuwan pemerintah juga memprediksi peningkatan kekeringan, gelombang panas dan curah hujan ekstrem di seluruh China yang dapat mengancam panen dan membahayakan waduk dan bendungan, termasuk Bendungan Tiga Ngarai.

Sementara itu, rakyat China sudah menderita akibat perubahan iklim. Pada akhir Juli, siaran berita China menayangkan cuplikan mengejutkan dari hujan deras membanjiri ibu kota Provinsi Henan, Zhengzhou di satu titik. Banjir itu dalam satu jam saja sudah menyapu mobil-mobil, kereta bawah tanah kebanjiran dan orang-orang berjuang melalui air setinggi pinggang. Lebih dari 300 orang tewas.

Jalan rayanya pun berubah jadi kanal berlumpur. Bahkan setelah badai yang paling dramatis berhenti, air terus mengalir menjadikan sebagian besar area pedesaan yang subur seperti kolam renang.

Di wilayah ini ekonomi bergantung pada jagung, gandum dan sayuran. China bergantung pada Provinis Henan untuk menyediakan stok makanan. Pemerintah setempat melaporkan bahwa hampir 1,2 juta hektar dari lahan pertanian banjir dengan total kerusakan mencapai 18 miliar dollar AS.

"Yang bisa saya lakukan saat itu adalah melihat langit menangis, menangis dan menangis setiap hari,'' kata Wang, si petani kacang.

Seorang petani berusia 58 tahun, Song, berkata semua miliknya terendam banjir, rumahnya, furnitur, ladang, peralatan pertanian dan lain-lain. "Tidak ada yang dipanen. Tahun ini, orang-orang biasa menderita sepanjang tahun,'' katanya.

"Kami sudah bekerja sangat keras, mematahkan punggung kami, tanpa genap satu sen pun kembali, hatiku sakit,'' kata Hou Beibei, seorang petani yang punya rumah kaca sederhana  tertutup terpal plastik.

Tanaman terong, bawang putih dan seledrinya tetap kebanjiran, jerih payahnya sia-sia.   Ia mengkhawatirkan kedua anaknya yang masih kecil.

"Biaya kuliah anak-anak dan biaya hidup seluruh keluarga bergantung pada tanah ini,'' katanya.

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement