REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Kelompok-kelompok pro-demokrasi Sudan melancarkan dua hari pembangkangan sipil dan pemogokan pada Ahad (7/11). Langkah ini sebagai protes terhadap kudeta militer bulan lalu, meskipun partisipasi tampaknya dibatasi oleh gangguan koneksi internet dan telepon.
Komite perlawanan lokal dan Asosiasi Profesional Sudan (SPA) mengorganisasi kampanye protes dan barikade untuk mencoba membalikkan pengambilalihan militer.
Kelompok ini juga memimpin demonstrasi dalam pemberontakan yang menggulingkan otokrat lama Omar al-Bashir pada 2019.
Orang-orang keluar di jalan-jalan di pusat ibukota, Khartoum, meskipun lalu lintas lebih sedikit dari biasanya.
Sebuah serikat guru mengatakan pasukan keamanan menggunakan gas air mata di gedung Kementerian Pendidikan untuk Negara Bagian Khartoum untuk membubarkan aksi damai untuk menentang penyerahan apa pun kepada pejabat militer. Sekitar 87 orang ditangkap.
Sedangkan di beberapa daerah di Khartoum Timur, di seberang sungai di daerah Ombada, Omdurman, polisi juga menggunakan gas air mata untuk membubarkan protes. Di satu jalan utama Khartoum, pasukan keamanan dengan pakaian sipil terlihat di samping polisi.
Ada protes juga di kota Medani, Nyala, dan Atbara. Ratusan memprotes penunjukan kembali loyalis Bashir di pemerintah daerah. Sedangkan beberapa rumah sakit dan staf medis di Khartoum bekerja normal, sementara yang lain mogok.
"Sejumlah orang tidak tahu tentang seruan pembangkangan sipil karena terputusnya internet," kata seorang warga di Khartoum tengah yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Layanan internet hampir sepenuhnya terganggu sejak kudeta 25 Oktober, dan jangkauan telepon tetap tidak merata. Meskipun kehidupan sehari-hari hampir terhenti setelah pengambilalihan, toko-toko, jalan, dan beberapa bank telah dibuka kembali.
Aktivis yang menuntut agar militer keluar dari politik telah mengumumkan jadwal protes menjelang demonstrasi massal pada 13 November. "Tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, tidak ada kompromi," ujar slogan gerakan tersebut.
Ratusan ribu orang turun ke jalan menentang kekuasaan militer dalam dua demonstrasi besar sebelum dan sesudah kudeta 25 Oktober. Kekuatan Barat telah menghentikan bantuan ekonomi ke Sudan dan mengatakan pembebasan puluhan miliar dolar utang luar negeri berisiko kecuali ada kembalinya transisi demokrasi.