REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS - Uni Eropa pada Senin mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil yang dilakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pengakhiran segera permusuhan di negara itu.
Pada peringatan tahun pertama pemilu Myanmar yang kemudian menyebabkan kudeta militer, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan penggulingan pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Burma adalah pelanggaran terang-terangan terhadap kehendak rakyat Myanmar.
“Uni Eropa dengan keras mengutuk serangan militer Myanmar terhadap warga sipil dan desa-desa di Negara Bagian Chin, termasuk penyiksaan, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, dan perusakan properti pribadi dan situs keagamaan,” tutur Borrell, mengacu pada serangan oleh militer baru-baru ini di bagian barat laut negara itu.
Dia menuntut permusuhan segera diakhiri dan “keadilan dan pertanggungjawaban” terhadap para pelaku “pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.”
Borrell memperingatkan otoritas militer untuk memastikan akses yang aman bagi organisasi internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi internal. Dia juga berjanji bahwa blok tersebut akan terus memberikan bantuan kepada Myanmar. Dia juga mencatat bahwa mereka menyambut baik penunjukan Noeleen Heyzer sebagai utusan khusus PBB untuk Myanmar.
Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar merebut kekuasaan setelah tuduhan penipuan dalam pemilihan umum 8 November 2020 dan ketegangan politik di negara itu. Tentara menangkap para pemimpin dan pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dan menyatakan keadaan darurat satu tahun.
Pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan sedikitnya 37.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, telah mengungsi akibat eskalasi konflik baru-baru ini di barat laut Myanmar. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), lebih dari 1.100 orang telah tewas dan lebih dari 9.000 demonstran telah ditangkap karena tindakan brutal militer terhadap aksi protes.