REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Koordinator Bantuan Darurat PBB, Martin Griffiths, mengatakan, lebih dari 3 juta penduduk Myanmar membutuhkan bantuan. Griffiths menambahkan, konflik dan ketidakamanan di Myanmar telah meningkat setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Griffiths menegaskan bahwa, tanpa resolusi politik untuk menyelesaikan krisis, maka jumlah orang yang membutuhkan bantuan akan meningkat. Tahun ini, pekerja kemanusiaan telah menyediakan bantuan makanan, uang tunai dan nutrisi terhadap 1,67 juta orang. Mereka menghadapi kendala distribusi bantuan karena kurangnya akses dan dana kemanusiaan.
"Akses bantuan ke banyak orang yang membutuhkan di seluruh negeri sangat terbatas, karena hambatan birokrasi yang diberlakukan oleh angkatan bersenjata. Saya meminta angkatan bersenjata Myanmar, dan semua pihak untuk memfasilitasi akses kemanusiaan yang aman, cepat dan tanpa hambatan," kata Griffiths, dilansir Anadolu Agency, Selasa (9/11).
Griffiths lebih lanjut meminta masyarakat internasional untuk ikut berpartisipasi dalam membantu warga Myanmar. Dia mengatakan, rencana pendanaan untuk bantuan kemanusiaan Myanmar yaitu sebesar 385 juta dolar AS. Namun saat ini jumlah pendanaan yang terkumpul masih belum mencukupi. "Rakyat Myanmar membutuhkan bantuan kami untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka ditegakkan dan mereka dapat hidup dengan bermartabat," kata Griffiths.
Militer Myanmar menangkap para pemimpin dan pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari. Militer menyatakan keadaan darurat selama satu tahun dan berjanji akan menggelar pemilihan umum.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, sedikitnya 37 ribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak, telah mengungsi karena eskalasi konflik di wilayah barat laut Myanmar. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, lebih dari 1.240 orang telah terbunuh sejak kudeta. Sementara lebih dari 7.100 lainnya telah ditangkap, didakwa atau dihukum di tengah tindakan keras militer terhadap aksi protes dan pemberontakan terhadap kekuasaannya.