Rabu 10 Nov 2021 20:29 WIB

Berjam-jam demi Roti untuk Bertahan Hidup di Afghanistan

Ketidakstabilan politik membuat kondisi ekonomi di Afghanistan kitan buruk.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
 Wanita dan anak-anak Afghanistan duduk di depan toko roti menunggu sumbangan roti di Kota Tua Kabul, Afghanistan, Kamis, 16 September 2021.
Foto:

Warga miskin Afghanistan lainnya, Mava Niyazi, mengatakan, mereka meminta roti bukan sebagai pengemis. Sejak Taliban kembali berkuasa, sebagian besar warga Afghanistan telah kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, harga bahan pokok melambung tajam. Selain itu, mereka juga tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Dengan pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, banyak orang kehilangan pekerjaan. Mereka yang bekerja tidak dibayar. Kami tidak mampu membayar sewa selama empat bulan. Kami makan roti yang saya ambil dari sini dengan teh atau air. Anak-anak saya tidak punya apa-apa untuk dimakan atau dipakai," ujar Niyazi.

Seorang pembuat roti di Kabul, Matinullah Safiyi, mengatakan, jumlah orang yang menunggu roti di depan toko rotinya semakin meningkat dari hari ke hari. Dia memberikan sekitar 50-60 roti kepada orang-orang yang meminta roti. "Ini mencerminkan situasi saat ini di Afghanistan. Jumlah orang-orang (yang meminta) ini telah meningkat selama tiga bulan terakhir," ujar Safiyi.

Sebelumnya, Taliban mengumumkan larangan penggunaan mata uang asing di Afghanistan. Hal ini merupakan sebuah langkah yang dapat menyebabkan krisis ekonomi menjadi semakin lebih dalam. "Islamic Emirate menginstruksikan semua warga, pemilik toko, pedagang, pengusaha dan masyarakat umum untuk melakukan semua transaksi di Afghanistan dan secara ketat menahan diri menggunakan mata uang asing. Siapa pun yang melanggar perintah ini akan menghadapi tindakan hukum," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid, dilansir Aljazirah.

Penggunaan dolar AS tersebar luas di pasar Afghanistan. Sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga, seperti mata uang Pakistan untuk perdagangan.

Keputusan itu berdampak buruk pada sistem perawatan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya. Mereka berjuang untuk melanjutkan operasional di tengah pengurangan bantuan internasional. Mantan Wakil Menteri Industri dan Perdagangan, Sulaiman Bin Shah, mengatakan, orang-orang Afghanistan membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi.

Pemerintah Taliban mendesak Amerika Serikat (AS) untuk melepaskan cadangan bank sentral Afghanistan senilai miliaran dolar. Pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung Barat, telah memarkir aset negara senilai miliaran dolar di Federal Reserve Amerika Serikat dan bank sentral lainnya di Eropa.

Selain itu, sejak Taliban kembali berkuasa, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), memutuskan memblokir Afghanistan untuk mendapatkan pinjaman. Kepergian pasukan pimpinan AS dan donor internasional, telah meninggalkan Afghanistan tanpa dana hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik.

Program Pangan Dunia mengatakan, sekitar 22,8 juta orang atau sekitar setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan menghadapi kerawanan pangan akut. Krisis pangan diperburuk oleh perubahan iklim yang sangat mengerikan di Afghanistan, bahkan sebelum Taliban kembali berkuasa.

Kelompok-kelompok bantuan mendesak dunia internasional agar tidak mengabaikan kepemimpinan Taliban. Hal ini untuk mencegah keruntuhan yang dapat memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus dari Suriah yang mengguncang Eropa pada 2015.

Bank Dunia

Sementara itu, Presiden Bank Dunia David Malpass mengungkapkan, lembaganya tidak mungkin melanjutkan bantuan langsung untuk Afghanistan. Krisis yang tengah membekap negara tersebut menjadi salah satu alasan mengapa hal itu tak dapat dilakukan.

“Saya tidak akan membayangkan kami beroperasi di dalam mengingat kehancuran penuh ekonomi,” kata Malpass saat berbicara di the Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Senin (8/11), dikutip laman Al Arabiya.

Menurut Malpass, salah satu tantangannya adalah sistem pembayaran. “Tidak ada kemampuan untuk mengalirkan uang, mengingat apa yang dilakukan pemerintah saat ini,” ucapnya.

Bank Dunia memiliki lebih dari 20 puluh proyek pembangunan yang sedang berlangsung di Afghanistan. Sejak 2002, mereka telah menyediakan dana sebesar 5,3 miliar dolar AS, sebagian besar dalam bentuk hibah, untuk negara tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement