Jumat 19 Nov 2021 19:21 WIB

Upaya China Yakinkan RI, tak Ada Pelanggaran HAM di Xinjiang

Dubes China yakinkan bahwa China adalah sahabat tulus bagi RI dan dunia Islam.

Rep: Fergi Nadira/Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Asosiasi Islam Xinjiang sekaligus Rektor Xinjiang Islamic Institute Abdurraqib Turmuniyaz memberikan keterangan pers mengenai jaminan kebebasan beragama untuk semua etnis minoritas Muslim di Daerah Otonomi Xinjiang oleh pemerintah China di Beijing, Rabu (26/9/2021). Selain Uighur, etnis minoritas Muslim yang menghuni Xinjiang ada Kazakh, Tajik, dan Kirgiz.
Foto:

"Kami juga telah mewujudkan target memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar, perumahan, dan air minum bagi seluruh masyarakat," ujarnya menambahkan.

Sementara itu dalam memuji hubungannya dengan Indonesia, Yaqup mengatakan, bahwa Xinjiang dan Indonesia, meskipun terpisah ribuan gunung dan samudera, hubungan kontak dan kerja sama antara keduanya telah terjalin erat. Menurutnya, Indonesia adalah lokasi dicetuskannya gagasan "Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21". Adapun Xinjiang merupakan wilayah inti dari "Sabuk Ekonomi Jalur Sutra."

"Selain itu interaksi bidang keagamaan berlangsung dengan frekuensi tinggi, dan kerja sama ekonomi perdagangan terus ditingkatkan hingga kerja sama sosial budaya semakin erat," ujarnya.  

Dia mengatakan, konferensi virtual ini digelar dengan harapan memperdalam pemahaman, mempererat persahabatan, dan memajukan kerja sama. Dia kembali meyakinkann bahwa situasi perkembangan yang stabil di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi. "Wilayah kami banyak etnik hidup bersama, banyak budaya bertemu, dan banyak agama hidup berdampingan," katanya.

Yaqup menegaskan bahwa tuduhan genosida terhadap etnis minoritas adalah fitnah. Dia membeberkan fakta bahwa sejak berdirinya Republik Rakyat Cina dan terutama setelah diberlakukannya reformasi dan keterbukaan, jumlah penduduk Xinjiang termasuk etnik minoritasnya justru terus bertumbuh, dan kualitas penduduk juga terus meningkat.

"Dari sensus nasional pertama Cina pada 1953 hingga sensus nasional ketujuh 2020, jumlah penduduk Xinjiang meningkat dari 4.783.600 menjadi 25.852.300. Di antaranya, jumlah penduduk etnik Uighur naik dari 3.607.600 menjadi 11.624.300," tuturnya.

Selain pejabat daerah, kesaksian ditampilkan dari perwakilan masyarakat Xinjiang etnis Uighur. Mereka diantaranya mahasiswa, ketua kelompok perempuan, dan lulusan pusat pelatihan kerja. Mereka memaparkan bahwa kehidupan mereka berangsur membaik dan mereka pun memperoleh pekerjaan yang stabil sambil mensejahterakan keluarga.

Dari Indonesia, turut memberi pernyataan Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin dan Kiai Haji Said Aqil Siradj yang merupakan Ketua Umum (Rais Tanfidziyah) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Seperti diketahui delegasi NU beberapa kali berkunjung ke Xinjiang menemui ulama setempat. "Semua mengatakan tidak ada larangan beragama," ujarnya.

Tuduhan Genosida

Pemerintah China juga kerap mendapatkan tuduhan genosida terhadap komunitas minoritas perempuan Islam melalui program keluarga berencana (KB). Namun demikian Wakil Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Xinjiang Gulnar Obul membantah hal tersebut.

Menurutnya aturan kebijakan soal populasi penduduk di Xinjiang sesuai dengan program KB yang diterapkan secara nasional oleh pemerintah pusat. Dia menjelaskan bahwa program KB masuk ke Xinjiang memang lebih lambat dibandingkan wilayah lain di berbagai wilayah China.

Obul mengatakan, pada awalnya kebijakan KB China pertama kali diadopsi di daerah budaya dan perkotaan dan kemudian digulirkan ke perbatasan etnis minoritas dan daerah pedesaan. "Implementasi kebijakan KB ternyata kemudian lebih banyak, di berbagai wilayah, dan di Xinjiang, baik di perkotaan maupun pedesaannya, kebijakan keluarga berencana yang seragam telah diadopsi di provinsi ini," ujarnya.

Seorang perwakilan kelompok perempuan dari Ahu, sebuah wilayah di kota Kirgiz, Ayqamar Tursun mendukung pernyataan Obul. Menurutnya perempuan Uighur biasanya memiliki dua hingga tiga anak. Mereka mendapatkan pendidikan gratis sejak sebelum sekolah.

Perempuan di Xinjiang juga mudah untuk cek kesehatan tanpa biaya. Menurutnya perempuan di provinsi tersebut juga dengan mudah memasuki dunia kerja untuk membantu ekonomi keluarga. "Saya telah mengandung dan melahirkan dua orang anak, dan saya sangat bersyukur pemerintah membantu saya," ujarnya.

Pada Oktober lalu, sekitar 43 negara pada Kamis (21/10) menandatangani pernyataan yang mengkritik China atas penyiksaan terhadap sebagian besar Muslim Uighur, dan menyatakan keprihatinan khusus dengan keberadaan kamp pendidikan di Xinjiang. Pernyataan tersebut dibacakan oleh Duta Besar Prancis untuk PBB, Nicolas De Riviere pada pertemuan Komite Hak Asasi Manusia PBB.

“Kami menyerukan Cina untuk mengizinkan akses yang tak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia,” kata pernyataan 43 negara tersebut, dilansir Aljazirah, Jumat (22/10).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement