REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Presiden Burkina Faso, Roch Marc Christian Kabore pada Rabu (8/12) memecat Perdana Menteri Christophe Dabire, di tengah meningkatnya krisis keamanan. Krisis tersebut telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan aksi protes besar-besaran.
"Kantor kepresidenan mengatakan, Kabore telah menerima surat pengunduran diri dari Dabire. Presiden memutuskan bahwa tugas Perdana Menteri Christophe Joseph Marie Dabire dihentikan,” ujar sekretaris jenderal pemerintah Stephane Wenceslas Sanou, dilansir Aljazirah, Kamis (9/12).
Berdasarkan hukum Burkina Faso, pengunduran diri seorang perdana menteri diikuti dengam pengunduran diri seluruh pemerintahan. Namun Sanou mengatakan, kabinet pemerintahan Dabire akan diminta bertahan untuk sementara sampai pemerintahan yang baru terbentuk.
Dabire pertama kali menjadi perdana menteri pada awal 2019. Kemudian dia kembali diangkat menjadi perdana menteri pada Januari 2021, setelah Kabore terpilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan kedua dan terakhir.
Burkina Faso merupakan salah satu negara yang termiskin di Afrika Barat. Negara ini telah dilanda serangan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang terkait dengan Alqaidah dan ISIS sejak 2016. Serangan tersebut menewaskan 2.000 orang dan memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan rumah mereka.
Kemarahan telah meluap sejak serangan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Alqaeda bulan lalu. Serangan itu menewaskan 49 perwira polisi militer dan empat warga sipil. Serangan ini memberikan tekanan pada Kabore untuk membuat perubahan. Kabore kemudian merombak kepemimpinan militernya.
Perjuangan Burkina Faso untuk menahan krisis keamanan memicu protes anti-pemerintah di Ouagadougou bulan lalu. Burkina Faso berada di jantung pemberontakan bersenjata garis keras, yang juga melanda sebagian besar negara tetangganya seperti Mali dan Niger.