REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Rusia meminta Amerika Serikat (AS) segera merespons tuntutan Moskow mengenai jaminan keamanan. Rusia juga kembali memperingatkan kemungkinan akan mengerahkan respons militer bila tidak ada tindakan politik yang meredakan kekhawatiran mereka.
Pekan lalu Moskow mengungkapkan daftar permintaan dalam proposal keamanan yang ingin mereka negosiasikan. Seperti janji NATO untuk menghentikan setiap aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Barat khawatir dengan penumpukan militer Rusia di perbatasan Ukraina.
Washington mengatakan, beberapa proposal Rusia sama sekali tidak bisa diterima. Tapi AS akan meresponnya pada pekan ini dengan proposal yang lebih konkrit untuk berbagai jenis bentuk perundingan.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Emily Horne mengatakan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan berbicara dengan penasihat keamanan Kremlin Yuriy Ushakov melalui sambungan telepon. Dalam pembicaraan itu Sullivan menegaskan AS siap berunding melalui berbagai saluran termasuk perjanjian bilateral.
"(Sullivan) menegaskan setiap dialog harus bersifat resiprokal dan mengatasi keprihatinan pada tindakan Rusia dan digelar dengan koordinasi penuh dengan sekutu-sekutu dan mitra-mitra Eropa kami, ia juga mencatat progres subtantif yang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan yang telah de-eskalasi bukan di tengah eskalasi," kata Horne, Selasa (21/12).
Diplomat Rusia di Wina, Konstantin Gavrilov mengatakan hubungan Rusia dan NATO sudah mencapai 'momen kebenaran'. "Pembicaraannya harus seriusan semua orang di NATO harus memahami dengan sempurna meskipun kekuatan dan wewenang dalam tindakan politik konkrit perlu diambil, jika tidak akan ada respons militer dan teknis militer dari Rusia," katanya seperti dikutip kantor berita RIA.
Respons AS akan menjadi bahan hitungan Rusia di Ukraina yang menjadi titik gesekan antara Timur dan Barat. AS dan Ukraina menuduh Rusia sedang merencanakan invasi ke Ukraina.
Rusia membantah tuduhan tersebut dan mengatakan tumbuhnya hubungan Ukraina dengan NATO menyebabkan ketegangan mengalami kebuntuan. Mereka menyamakannya dengan krisis rudal Kuba pada 1962 saat situasi di ambang perang nuklir.
Deputi Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov mengatakan sejauh ini Moskow belum menerima respon dari AS. "Saya pikir mereka mencoba mengubah ini menjadi proses yang lambat tapi kami membutuhkannya segera, karena situasinya sangat sulit, ini parah, akan menjadi lebih rumit," kata Ryabkov seperti dikutip kantor berita RIA.
Kremlin mengatakan masih terlalu dini untuk mengasesmen respons Barat. Tapi informasi dari 'berbagai sumber' tentang kesiapan untuk membahas gagasan itu positif.