REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pemimpin gereja di Yerusalem mengeluhkan kelompok pemukim pinggiran 'radikal' melakukan upaya kekerasan 'sistematis' untuk mengusir orang Kristen dari kota itu. Israel mengkritik pernyataan tersebut dengan menyebutkan tanpa dasar dan 'menghasut'.
Seperti dilansir RT News, Rabu (22/12), pekan lalu perkumpulan berbagai denominasi Kristen di Yerusalem, Patriark dan kepala gereja lokal Yerusalem menggelar unjuk rasa untuk memprotes kekerasan radikal yang sering dan berkelanjutan dan 'akuisisi 'properti strategis'. Mereka mengatakan taktik-taktik ini bertujuan untuk 'menyingkirkan kehadiran orang-orang Kristen'.
Dalam pernyataan yang dirilis Keuskupan Yerusalem mengungkapkan insiden tak terhitung banyaknya berupa kekerasan fisik dan verbal terhadap pendeta serta intimidasi yang dialami warga Kristen. Mereka juga mencemari gereja dan situs suci.
Para pendeta mengatakan kekerasan-kekerasan yang terjadi sejak 2012 itu merupakan 'kegagalan politisi, pejabat dan penegak hukum setempat' dalam menahan kekerasan. Pernyataan bersama itu ditandatangani semua pemimpin gereja besar, termasuk Perwalian Tanah Suci yang mewakili Vatikan, Patriark Ortodoks Apostolik Armenia di Yerusalem, Patriark Latin Yerusalem, dan kepala Gereja Anglikan.
Protes itu juga diperkuat pernyataan Uskup Uskup Agung Canterbury Inggris Justin Welby di media sosial Twitter pada Selasa (21/12) kemarin. Ia mengatakan deklarasi bersama itu 'jeritan hati' dan 'pernyataan yang belum disampaikan sebelumnya mengenai masa depan orang Kristen di Tanah Suci. Dewan Gereja Dunia dan lembaga lainnya memberikan turut memberikan dukungan.
Para kepala gereja juga menyarankan 'dialog darurat' dengan otoritas politik di 'Israel, Palestina dan Yordania'. Mereka mencatat ini terikat dengan 'deklarasi komitmen' untuk melindungi kebebasan beragama.
Selain membahas tantangan-tantangan dari kelompok-kelompok radikal' pembicaraan itu juga mengeksplorasi pembentukan 'zona khusus budaya dan warisan Kristen untuk melindungi integritas Kuarter Kristen di Kota Tua Yerusalem'.
Tuduhan komunitas Kristen ini menarik perhatian media setempat hingga akhirnya mendapat tanggapan dari otoritas Israel pada pekan lalu. Dalam pernyataannya Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan tuduhan tersebut 'tanpa dasar' dan 'menghasut'.
Israel mengeklaim tuduhan tersebut 'mendistorsi kenyataan masyarakat Kristen' di negara itu. "Pemimpin agama memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan toleransi dan hidup berdampingan, dan pemimpin Gereja diharapkan untuk memahami tanggung jawab dan konsekuensi apa yang mereka publikasikan, yang mana dapat mengarah pada kekerasan dan melukai orang-orang tak bersalah," kata Kementerian.