REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden Nikaragua Daniel Ortega kembali dilantik untuk masa jabatan keempat berturut-turut, Senin (10/1/2022) malam waktu setempat. Pelantikan dilakukan beberapa jam seusai Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi pada sejumlah tokoh dalam pemerintahan Ortega terkait pemilu palsu.
Ortega memenangkan pemilihan umum pada 7 November 2021 setelah sebagian besar lawan politiknya dipenjara. Hal ini memicu kecaman yang meluas. Presiden AS Joe Biden menyebut pemilihan itu sebagai 'pantomim' dan menuduh mantan gerilyawan Marxis dan musuh Perang Dingin AS itu menumbuhkan otoritarianisme.
Sebagian besar negara Barat dan kawasan menghindari upacara pelantikan pada Senin malam. Namun para pemimpin sayap kiri seperti Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan Presiden Kuba Miguel Diaz Canel terbang untuk menunjukkan dukungan mereka. China yang baru-baru ini menjalin hubungan dengan Nikaragua juga mengirim delegasi ke negara tersebut.
Ortega berpidato yang sebagian besar berfokus pada sejarah pemberontakan Sandinista melawan mantan diktator dukungan AS Anastasio Somoza. Ortega kemudian bersumpah untuk terus menumbuhkan mimpi dan membangun jalan bagi rakyat Nikaragua.
Namun oposisi mengatakan pemimpin itu kini memimpin pemerintahan yang mirip dengan Somoza, yang digulingkan oleh gerilyawan Sandinista sayap kiri Ortega pada 1979. Mantan presiden Kosta Rika, Laura Chinchilla, menyebut Ortega sebagai diktator menjelang upacara pelantikan.
"Dia menunjukkan punggungnya kepada orang-orang yang tidak memilihnya, terisolasi dari dunia yang tidak mengakui pemilihannya, di bawah warisan kengerian dan rasa sakit," kata Chinchilla di Twitter.
Para analis menilai, tugas pertama Ortega dalam kekuasaan berakhir pada 1990 dan setelah kembali sebagai presiden pada 2007, ia dengan cepat mulai menguasai lembaga-lembaga kunci negara. Pengamat pemilu dari UE dan Organisasi Negara-negara Amerika tidak diizinkan untuk mengamati pemilihan November dan wartawan dilarang memasuki Nikaragua.