Selasa 11 Jan 2022 18:45 WIB

Martha Sepúlveda Akhirnya Disuntik Mati Atas Permintaan Pribadi

Kolombia akhirnya mengizinkan Martha Sepúlveda untuk disuntik mati.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Martha Sepúlveda Campo, warga Kolombia pertama dengan penyakit non terminal yang mendapat izin untuk disuntik mati.
Foto: Noticias Caracol
Martha Sepúlveda Campo, warga Kolombia pertama dengan penyakit non terminal yang mendapat izin untuk disuntik mati.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDELLIN -- Martha Sepúlveda akhirnya tutup usia pada Sabtu (8/1/2022) pagi di sebuah klinik di Medellín, Kolombia. Perempuan 51 tahun itu meninggal dunia ditemani keluarganya setelah disuntik mati atas permintaan pribadinya.

Martha meminta eutanasia tanpa prognosis terminal. Dia dengan sengaja meminta profesional medis mengakhiri hidupnya, meski tak ada kondisi tertentu yang membuat harapan hidupnya tersisa enam bulan atau kurang.

Baca Juga

Alasannya, Martha tidak ingin mengalami lebih banyak rasa sakit dan kesulitan akibat penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Gangguan saraf yang disebut juga penyakit Lou Gehrig itu tak dapat disembuhkan dan bersifat degeneratif.

"Tuhan tidak ingin melihat saya menderita," ungkap Martha pada musim gugur silam dalam sebuah wawancara televisi dengan jaringan Caracol.

Klinik yang mengesahkan prosedur tersebut sempat membatalkan eutanasia untuk Martha di menit terakhir pada Oktober 2021. Tidak terima dengan pembatalan 36 jam sebelum tindakan, Martha lantas melawan di pengadilan.

Para hakim berpihak pada Martha. Menurut mereka, memaksa seseorang memperpanjang hidup untuk waktu yang tidak ditentukan ketika orang itu tidak mau mengalami penderitaan justru kejam dan tidak manusiawi.

Berdasarkan keputusan ini, Martha dapat memilih tanggal dan waktu baru untuk kematiannya yang bermartabat. Dia memutuskan untuk melakukannya pada 8 Januari. Dia meninggalkan pesan melalui pengacaranya.

"Martha berterima kasih kepada semua orang yang menemani dan mendukungnya, yang mendoakannya dan memiliki kata-kata cinta dan empati selama bulan-bulan yang sulit ini," ucap pengacara dari Laboratorium Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam sebuah pernyataan.

Martha membuat sejarah di negara dan wilayahnya terkait hak atas kematian yang bermartabat. Meski demikian, dia mendapat perlawanan keras dari Gereja Katolik karena berbicara secara terbuka tentang keinginannya untuk mati.

Lucas Correa Montoya dari tim DescLAB justru menganggap pilihan Martha bisa menjadi preseden bagi orang-orang yang ingin menjalankan dan menjamin hak mereka untuk mati dengan bermartabat.

"Tidak perlu takut untuk mengumumkannya kepada publik. Mereka yang menggunakan haknya tidak boleh bersembunyi," kata Montoya.

Saat menerima kabar bahwa dia diizinkan untuk menjalani prosedur eutanasia, Martha sangat gembira. Martha merayakan itu bersama putranya.

"Hal terbaik yang bisa terjadi adalah beristirahat," ujarnya saat itu.

Martha menderita rasa sakit yang hebat dari penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan, yang secara progresif menghancurkan neuron motorik. Dia tidak bisa lagi berjalan atau membersihkan diri sendiri tanpa bantuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement