REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris memperingatkan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, negara-negara Barat akan bersatu atas nama demokrasi melawan kediktatoran. Inggris mengatakan kediktatoran semakin unjuk gigi sejak Perang Dingin berakhir.
Di Australia, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan Inggris dan sekutu-sekutunya di "free world" atau negara-negara demokrasi harus merespons ancaman global. Seperti memperkuat hubungan dengan negara-negara demokrasi di Indo-Pasifik dan "menghadapi agresor global" yang menggunakan ketergantungan ekonomi untuk mendapatkan yang mereka inginkan.
Truss dan Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace bertemu dengan pemerintah Australia di Sydney untuk pertemuan tahunan Konsultasi Antar-Menteri Australia-Inggris, Jumat (21/2/2022). Dalam pertemuan tersebut kedua negara akan membahas mengenai kesepakatan kapal selam tenaga nuklir.
Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton mengatakan belum ada rencana membangun pangkalan militer Inggris di Australia walaupun Angkatan Laut Inggris meningkatkan kehadirannya di Pasifik. Kedua negara menandatangani kesepakatan pendanaan pembangunan infrastruktur untuk melawan pengaruh China di kawasan.
Dalam pernyataan bersama para menteri mengungkapkan keprihatinan pada penumpukan pasukan dan peralatan militer Rusia di perbatasan Ukraina. "(Dan memberi) dukungan penuh pada kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina," kata para menteri dari kedua negara.
Dalam pidatonya di lembaga think tank Lowy Institute, Truss memperingatkan Putin untuk "berhenti maju dan mundur dari Ukraina sebelum melakukan kesalahan strategis besar."
Truss mengatakan "Kremlin tidak belajar dari sejarah" dan "invasi hanya mengarah pada situasi mengerikan dan menghilangkan banyak nyawa, seperti yang kami ketahui dari perang Soviet-Afghanistan dan konflik Chechnya."
Lebih dari 15 ribu pasukan Uni Soviet dan ratusan ribu rakyat Afghanistan tewas dalam perang yang berlangsung dari tahun 1979 hingga 1989. Perang Amerika Serikat (AS) dari tahun 2001 sampai 2021 menewaskan 3.500 orang anggota pasukan koalisi militer internasional.
"(Agresor global) telah dengan berani tampil dalam cara yang tidak pernah kami lihat lagi sejak Perang Dingin," kata Truss dalam pidatonya.