REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala Biro dukungan Strategis Pimpinan (BDSP) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achmad Rizal Purnama menegaskan posisi Indonesia dalam hal mengundang perwakilan Myanmar pada pertemuan menteri luar negeri (menlu) negara Asia Tenggara yang dijadwalkan pada 16 dan 17 Februari. Indonesia bersama negara anggota Asia Tenggara lain sepakat hanya akan mengundang perwakilan non-politik Myanmar untuk menghadiri retret tersebut.
"Posisi awal ketika Presiden Joko Widodo menghubungi Perdana Menteri Kamboja adalah Myanmar hanya akan diwakili oleh perwakilan non-politis pada pertemuan-pertemuan ASEAN sampai adanya kemajuan dari lima poin konsensus yang telah dibuat oleh para pemimpin ASEAN April tahun lalu," ujar Achmad Rizal kepada Republika, Kamis (3/2/2022).
Para anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak mencapai konsensus untuk mengundang Menlu Myanmar yang ditunjuk junta militer. Sebab pihak militer dianggap gagal dalam memenuhi rencana perdamaian ASEAN melalui lima poin konsensus tersebut.
Setahun seusai pengambilalihan militer, Indonesia memberikan perhatian serius untuk Myanmar dan sangat menyayangkan tidak adanya kemajuan signifikan dalam mewujudkan lima poin konsensus (5PC) yang juga disetujui oleh Min Aung Hlaing.
"RI mengeluarkan pernyataan yang pada intinya secara konsisten menyuarakan posisi kita, yakni menyayangkan tidak adanya kemajuan dari pelaksanaan 5PC, disaat yang sama mendesak militer Myanmar untuk melaksanakan 5PC sesegera mungkin khususnya memberikan akses terhadap Utusan Khusus ASEAN untuk bertemu dengan seluruh pihak terkait dalam memfasilitasi adanya dialog yang inklusif," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhon telah ditunjuk menjadi Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Kamboja sebagai ketua ASEAN tahun ini berharap militer dapat memberikan akses untuk dapat melakukan komunikasi segara dengan semua pihak di Myanmar. Komunikasi dinilai sangat penting untuk membuka jalan bagi sebuah dialog nasional yang inklusif.
Myanmar telah jatuh ke dalam krisis sejak militer mengudeta pemerintahan terpilih pada 1 Februari. Sekitar 1.500 warga sipil tewas dalam kekerasan junta. Pasukan militer di pedesaan juga banyak yang bertempur hingga membentuk pasukan etnis minoritas.
Kamboja sebagai ketua ASEAN khawatir tentang perkembangan di Myanmar. Termasuk laporan kekerasan yang terus berulang dan kemerosotan kondisi kemanusiaan.