REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA - Pada 16 Februari 1959, Fidel Castro dilantik sebagai perdana menteri Kuba setelah mengalahkan pasukan diktator Jenderal Fulgencio Batista. Fidel Castro kemudian mengubah negara pulau itu menjadi negara komunis pertama di Belahan Barat.
Seperti dilansir laman History, Rabu (16/2/2022), Castro mempertahankan kendalinya hingga abad ke-21, melampaui 10 presiden Amerika Serikat yang menentangnya dengan embargo ekonomi dan retorika politik. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Castro kehilangan sumber bantuan yang berharga, tapi ia menebusnya dengan merayu investasi dan pariwisata Eropa dan Kanada.
Dalam sejarahnya, Castro lahir di provinsi Oriente di Kuba timur. Ia adalah putra seorang imigran Spanyol yang berhasil membangun sistem rel untuk mengangkut tebu kala itu. Ketika menjadi mahasiswa, ia terlibat dalam politik revolusioner dan pada tahun 1947 mengambil bagian dalam upaya gagal oleh orang-orang buangan Dominika dan Kuba untuk menggulingkan diktator Dominika Rafael Trujillo.
Pada tahun berikutnya, ia ikut dalam kerusuhan perkotaan di Bogota, Kolombia. Ciri paling menonjol dari politiknya selama periode itu adalah keyakinannya yang anti-Amerika, meski ia belum menjadi seorang Marxis yang terang-terangan.
Pada 1951, Castro mencoba mencalonkan diri untuk kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Kuba sebagai anggota Partai Ortodoxo reformis. Tapi, Jenderal Batista merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah sebelum pemilihan dapat diadakan.
Berbagai kelompok dibentuk untuk menentang kediktatoran Batista. Pada 26 Juli 1953, Castro memimpin sekitar 160 pemberontak dalam serangan ke Barak Moncada di Santiago de Cuba–pangkalan militer terbesar kedua di Kuba. Castro memberontak untuk merebut senjata dan mengumumkan revolusinya dari stasiun radio. Namun sayangnya barak-barak itu dijaga ketat, dan lebih dari pengikutnya ditangkap atau dibunuh.
Castro sendiri ditangkap dan diadili karena berkonspirasi untuk menggulingkan pemerintah Kuba. Selama persidangan, ia berargumen bahwa dirinya dan pemberontaknya berjuang untuk memulihkan demokrasi di Kuba. Kendati begitu, Castro tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Dua tahun kemudian, Batista merasa cukup percaya diri dengan kekuasaannya sehingga ia memberikan amnesti umum untuk semua tahanan politik, termasuk Castro. Castro kemudian pergi bersama saudaranya Raul ke Meksiko, dan mereka mengorganisir Gerakan Revolusioner 26 Juli, merekrut anggota dan bergabung dengan Ernesto “Che” Guevara, seorang Marxis idealis dari Argentina.
Pada pertengahan 1958, sejumlah kelompok Kuba lainnya menentang Batista. Kala itu Amerika Serikat mengakhiri bantuan militer kepada rezimnya. Pada Desember, 26 Juli pasukan di bawah Che Guevara menyerang kota Santa Clara, dan pasukan Batista hancur.
Batista melarikan diri ke Republik Dominika pada 1 Januari 1959. Castro, yang memiliki kurang dari 1.000 orang yang tersisa pada saat itu, mengambil alih 30.000 tentara pemerintah Kuba. Para pemimpin pemberontak lainnya tidak memiliki dukungan rakyat yang dinikmati Castro yang muda dan karismatik, dan pada 16 Februari ia dilantik sebagai perdana menteri.
Pada Juli 2006, Castro untuk sementara menyerahkan kekuasaan kepada saudaranya Raul setelah menjalani operasi usus. Perjuangannya melawan penyakit berlanjut, dan ia resmi mengundurkan diri pada Februari 2008. Castro meninggal pada 25 November 2016, pada usia 90 tahun.