REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengejek media Inggris dan Amerika Serikat (AS) yang telah menyebarkan kabar bahwa negaranya bakal menyerang Ukraina pada Rabu (16/2). Hal itu tak terbukti terjadi dan Rusia justru mengklaim telah menarik pasukannya dari perbatasan Ukraina.
“Saya ingin meminta media AS dan Inggris untuk mempublikasikan jadwal invasi kami yang akan datang tahun ini. Saya ingin merencanakan liburan saya,” kata Zakharova menyindir tudingan-tudingan kepada negaranya pada Rabu (16/2/2022), dilaporkan kantor berita Rusia, TASS.
Dia mendesak negara-negara Barat untuk berhenti mengobarkan histeria anti-Rusia. Moskow pun meminta mereka berhenti memasok persenjataan ke Ukraina. “Tindakan ini berdampak negatif, baik pada penyelesaian konflik di Donbass maupun situasi secara umum dalam jalur keamanan dan stabilitas di Eropa,” ujar Zakharova.
Zakharova pun mengutip pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang menyebut negaranya sedang diintimidasi “perang besar”. Zelensky, kata Zakharova, tidak menyebut bahwa Ukraina tengah diintimidasi Rusia.
“Saya ingin menarik perhatian untuk ini, sekali lagi menetapkan tanggal baru untuk invasi. Di sini saya juga akan menarik perhatian bahwa itu bukan kami. Kami telah mengatakan sebaliknya, kami tidak akan melakukannya (invasi), kami tidak memiliki rencana seperti itu,” ujarnya.
Selama sebulan terakhir, negara-negara Barat, termasuk Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah berulang kali melaporkan tentang kemungkinan serangan Rusia ke Ukraina. Mereka menyebut agresi Rusia dapat terjadi kapan saja, bahkan segera. Kemudian beredar kabar bahwa Moskow akan memulai serangannya pada 16 Februari.
Rusia telah berulang kali membantah tuduhan Barat. Ia menyatakan tak memiliki rencana atau intensi semacam itu terhadap Ukraina. Adapun soal pengerahan lebih dari 100 ribu tentara ke perbatasan Ukraina, Moskow mengklaim hal tersebut hanya untuk keperluan latihan.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung sejak 2014, yakni ketika Moskow mencaplok Krimea. Pertempuran antara milisi pro-Rusia dan pasukan Ukraina berlangsung di Donbass. Konfrontasi bersenjata telah menyebabkan lebih dari 13 ribu korban jiwa. Hingga kini Donbass pun masih menjadi “titik panas”.