REPUBLIKA.CO.ID, PORT-AU-PRINCE -- Ribuan buruh garmen Haiti turun ke jalan-jalan Port-au-Prince menuntut kenaikan upah. Unjuk rasa ini digelar beberapa pekan setelah demonstrasi serupa mengenai gaji dan kondisi kerja perusahaan yang mengekspor baju ke ritel-ritel Amerika Serikat (AS).
Berkat upah rendah dan kedekatannya pada pasar AS, selama puluhan tahun Haiti mempromosikan diri sebagai pusat manufaktur pakaian. Tapi kini pemerintah kerap menghadapi tuntutan mengenai upah yang terlalu rendah untuk membeli kebutuhan pokok di negara Karibia itu.
Koordinator Serikat Buruh Nasional Haiti Dominique St Eloi mengatakan, buruh meminta kenaikan upah mereka dari 500 gourdes atau 5 dolar AS menjadi 1.500 gourdes atau 15 dolar AS per hari.
"Dengan 500 gourdes per hari, tanpa subsidi pemerintah, kami tidak bisa memenuhi kebutuhan kami sementara harga kebutuhan pokok, ongkos transportasi, naik," kata St Eloi, Kamis (17/2/2022).
St Eloi mengatakan bila para manajer pabrik tidak merespons tuntutan ini. Maka buruh akan meminta pemerintah Haiti menaikan upah mereka.
Para pengunjuk rasa awalnya berkerumun di taman industri Sonapi dan kemudian berkumpul dekat jalan setelah polisi membubarkan mereka dengan gas air mata. Kelompok perdagangan manufaktur utama Haiti, Asosiasi Industri Haiti belum merespon permintaan komentar.
Juru bicara Perdana Menteri Ariel Henry mengatakan Henry sedang mengatasi masalah ini bersama Dewan Tertinggi Pengupahan Haiti yang merekomendasikan upah minimum. Pada Selasa (15/2/2022) Henry juga dilaporkan telah bertemu dengan pemimpin industri untuk membahas masalah ini.
Pada November lalu anggota Kongres AS mengatakan mereka meminta 62 kepala perusahaan AS yang mengimpor garmen dari Haiti untuk mengirimkan informasi. "Mengenai perlindungan bagi buruh yang dipekerjakan perusahaan dan pemasok mereka," kata para anggota Kongres.
Unjuk rasa yang serupa juga terjadi dalam beberapa pekan terakhir di pabrik-pabrik di Haiti. Selama bertahun-tahun negara itu sudah dilanda gelombang protes upah rendah.
Pada 2017, Pemerintah Haiti dan pemimpin pabrik merespons tuntutan kenaikan upah dengan mengatakan kenaikan upah akan membuat Haiti kurang kompetitif. Kemudian mendorong perusahaan memindahkan operasinya ke negara tetangga, Republik Dominika atau negara-negara Amerika Tengah.