REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson menawarkan dukungan defensif dalam panggilan telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Johnson mengatakan, solusi diplomatik harus diupayakan hingga detik terakhir.
Dalam panggilan telepon itu, Johnson mengatakan kepada Zelenskiy bahwa dia yakin invasi Rusia adalah kemungkinan nyata yang akan terjadi dalam waktu dekat. Inggris juga berjanji untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, jika menyerang Ukraina dalam waktu dekat. Johnson akan menyetujui paket sanksi terhadap Rusia pada pertemuan komite respons krisis pemerintah (COBR) pada Selasa (22/2/2022).
"Dia mengatakan kepada Presiden Zelenskiy bahwa Inggris telah membuat sanksi untuk menargetkan mereka yang terlibat dalam pelanggaran integritas teritorial Ukraina, dan bahwa langkah-langkah itu akan mulai berlaku. Perdana Menteri juga mengatakan dia akan menjajaki pengiriman dukungan defensif lebih lanjut ke Ukraina, atas permintaan pemerintah Ukraina," ujar pernyataan kantor Johnson.
Johnson mengutuk langkah Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengakui wilayah Donetsk dan Luhansk sebagai negara bagian yang merdeka di Ukraina timur. Menurutnya, langkah ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas Ukraina.
"Ini adalah pelanggaran dari perjanjian Minsk, dan saya pikir itu pertanda buruk," kata Johnson.
Johnson mengatakan kepada Zelenskiy bahwa, langkah Rusia yang mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk membuat perjanjian Minsk tidak dapat dijalankan. Pernyataan Johnaon digaungkan oleh Menteri Luar Negeri Liz Truss, yang mengatakan, Rusia telah melanggar kesepakatan hukum internasional.
"Kami tidak akan membiarkan pelanggaran Rusia terhadap komitmen internasionalnya dibiarkan begitu saja," kata Truss.
Truss mengatakan dia telah membahas koordinasi sanksi dengan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell. Selain itu, Amerika Serikat juga telah menjanjikan langkah-langkah tambahan sebagai tanggapan atas keputusan Putin yang mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.
Perjanjian Minsk dibentuk pada 2015, untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina. Kesepakatan damai ini ditengahi oleh Prancis dan Jerman.
Perjanjian Minsk berhasil menghentikan permusuhan skala besar, tetapi gagal membawa penyelesaian politik atas konflik tersebut. Sementara Kremlin bersikeras bahwa, kesepakatan Minsk adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik. Kremlin telah berulang kali menuduh Ukraina menyabotase implementasi kesepakatan tersebut.