REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Andrei Fedorov, mengatakan, Presiden Vladimir Putin menargetkan penyelesaian operasi militer ke Ukraina dengan kemenangan penuh pada 2 Maret mendatang. Fedorov pun berharap Rusia dan Ukraina melakukan pembicaraan untuk menurunkan eskalasi.
“Seharusnya ada pembicaraan yang berlangsung tanpa prasyarat. Saya tahu posisi teman-teman saya di Kyiv dan kepemimpinan Ukraina. Mereka siap untuk duduk dan berbicara, tetapi tanpa prasyarat," ujar Fedorov, dilansir Aljazirah, Senin (28/2/2022).
Ukraina dan Rusia telah sepakat untuk mengadakan pembicaraan di sebuah tempat dekat perbatasan Belarusia. Pembicaraan itu diadakan tanpa prasyarat.
Fedorov mengatakan, perlawanan di Ukraina dan sanksi yang diberlakukan oleh Barat lebih kuat dari yang diprediksi Rusia sebelum kekerasan dimulai. Menurutnya, sanksi tersebut hanya akan menambah masalah.
“Mereka selalu berpikir bahwa kami adalah negara besar, kami adalah negara yang hebat. Kami menyediakan Anda dengan gas dan minyak. Anda tidak akan pernah menggunakan sanksi-sanksi seperti itu. Ini adalah kenyataannya, dan telah menyebabkan banyak masalah di sini sekarang" kata Fedorov.
Sejumlah negara Barat telah memberikan sanksi yang sangat keras sebagai tanggapan atas invasi Rusia terhadap Ukraina melalui darat, laut, dan udara. Sanksi tersebut akan menjatuhkan perekonomian Rusia, termasuk Presiden Putin dan jajaran pejabatnya.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan, Uni Eropa akan menutup wilayah udaranya untuk pesawat Rusia, termasuk jet pribadi oligarki Rusia. Uni Eropa juga melarang jaringan televisi milik negara Rusia, Russia Today dan kantor berita Sputnik. Von der Leyen mengatakan, larangan ini bertujuan agar Rusia tidak dapat menyebarkan kebohongan dan menabur perpecahan di Eropa.
"Untuk pertama kalinya, Uni Eropa akan membiayai pembelian dan pengiriman senjata dan peralatan lainnya ke negara yang sedang diserang," kata von der Leyen.