REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid pada Senin (28/2/2022) waktu setempat menyerukan gencatan senjata segera antara Rusia dan Ukraina. Berbicara pada Sesi Khusus Darurat ke-11 Majelis Umum tentang Ukraina, Shahid menyuarakan keprihatinan serius atas situasi yang memburuk dan aksi militer yang masih berlangsung.
"Hari ini, saya mengubah seruan saya untuk segera melakukan gencatan senjata, agar semua pihak menahan diri secara maksimal, dan untuk kembali sepenuhnya ke diplomasi dan dialog," katanya seperti dikutip laman Anadolu Agency, Selasa (1/3/2022).
Dia menegaskan serangan militer Rusia merupakan pelanggaran terhadap integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina. Invasi Rusia sejak Kamis pekan lalu menurutnya juga tidak sesuai dengan Piagam PBB.
Shahid juga mengatakan Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara mewakili hati nurani umat manusia dan meminta negara-negara anggota untuk menggunakan debat Senin untuk memberi kesempatan perdamaian. Sementara itu, sebuah rancangan resolusi PBB tentang kecaman ke Rusia atas invasi ke Ukraina akan diputuskan melalui pemungutan suara pada Rabu pekan ini.
Resolusi yang sebelumnya dirancang di Dewan Keamanan PBB belum selesai dirancang di Majelis Umum. Beberapa bahasa yang lebih keras juga dilunakkan. Dalam sebuah pernyataan, sumber diplomatik PBB mengatakan amandemen tengah dibuat untuk rancangan resolusi yang akan melihat kata 'mengutuk' diganti jadi 'menyesalkan dalam istilah paling keras'.
Selain itu, tujuan pemungutan suara yang tertunda kabarnya adalah untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin negara dari anggota Majelis Umum. Selain amandemen rancangan resolusi, daftar panjang pembicara di Majelis Umum PBB adalah alasan lain mengapa pemungutan suara ditunda pada Rabu.
Sejak perang Rusia-Ukraina dimulai Kamis lalu, Moskow telah mendapat protes keras dari masyarakat internasional. Uni Eropa, Inggris, dan AS menerapkan berbagai sanksi ekonomi terhadap Rusia. Rusia juga semakin diisolasi setelah pesawatnya dilarang terbang di wilayah udara Eropa dan Kanada hingga beberapa banknya dikeluarkan dari sistem perbankan internasional SWIFT.
PBB mencatat setidaknya 102 warga sipil telah tewas sejauh ini di Ukraina. Lebih dari 500 ribu lainnya telah meninggalkan negara itu.