Beberapa siswi menerimanya dan masuk ke ruang kelas tanpa hijab. Siswi yang lain menolaknya dan dilarang bersekolah selama hampir dua bulan. Seperti sisiw Kota Udupi Ayesha Anwar. Siswi berusia 18 tahun itu tidak mengikuti ujian dan tertinggal dari teman-temannya.
"Saya merasa dikecewakan semua orang," kata Anwar bersama teman-temannya di sebuah cafe.
Enam siswi yang menggugat larangan yang kini diperkuat pengadilan itu mengatakan hak-hak kebebasan beragama dan mendapat pendidikan telah dilanggar. Aliya Assadi salah satu penggugatnya.
"Saya orang India dan seorang Muslim, ketika saya memandang ini dari sudut pandang seorang muslim, saya melihat hijab saya dipertaruhkan, dan sebagai seorang India saya melihat nilai-nilai konstitusional saya telah dilanggar," katanya.
Ada pengorbanan yang harus ia bayar karena aktivismenya: para nasionalis Hindu membocorkan detail pribadinya di internet. Mereka melecehkannya di media sosial. Ia kehilang teman karena menilainya sebagai Muslim fundamentalis.

"Membuat saya menjadi percaya diri," katanya.
Seorang siswi lain Ayesha Imtiaz juga dilarang bersekolah. Ia mengatakan memakai hijab bagian dari keimanannya dan ia menyadari setiap muslimah memiliki opini masing-masing tentang hijab.
"Sangat banyak teman-teman saya yang tidak memakai hijab di ruang kelas, mereka merasa kuat dengan cara mereka sendiri dan saya merasa kuat dengan cara saya," katanya.
Di matanya larangan memakai hijab di luar kelas sebagai segregasi perempuan berdasarkan keyakinan dan bertolak belakang dengan nilai-nilai keberagaman India. "Ini Islamophobia," kata Imtiaz.
Larang hijab juga berlaku di negara lain, termasuk Prancis yang sejak 2004 lalu sudah melarangnya di sekolah. Negara-negara Eropa lain juga memberlakukannya di ruang publik, biasanya diterapkan pada busana yang lebih tertutup seperti niqab dan burqa. Pemakaian hijab berbeda-beda di masyarakat Muslim.