REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA — Sekutu NATO, Turki dan Jerman menyerukan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina untuk membuka bantuan kemanusiaan untuk evakuasi sipil.
Kanselir Jerman Olaf Scholz bertemu di ibu kota Turki, Ankara, dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang berharap dapat memfasilitasi solusi melalui pembicaraan langsung dengan Moskow.
Pertemuan itu adalah yang pertama antara para pemimpin sejak Scholz menggantikan Angela Merkel. "Kami sepakat tentang masalah mencapai gencatan senjata sesegera mungkin," kata Scholz pada konferensi pers bersama setelah pertemuan dilansir dari The New Arab, Senin (14/3/2022), sembari menambahkan, "Harus dipastikan bahwa koridor yang diperlukan terbuka untuk evakuasi warga sipil."
Erdogan mengatakan Turki dan Jerman memiliki pandangan dan keprihatinan yang sama atas serangan Rusia terhadap tetangganya yang pro-Barat. "Kami akan melanjutkan upaya tanpa henti kami untuk gencatan senjata jangka panjang," katanya.
Turki memainkan peran mediasi dan memiliki hubungan langsung dengan kedua pihak yang bertikai. Turki adalah sekutu tradisional Ukraina dan memasok negara yang dilanda perang dengan drone tetapi sangat bergantung pada Rusia untuk impor gas dan pendapatan turis.
Erdogan menyebut serangan Moskow di Ukraina tidak dapat diterima tetapi menghindari sanksi Barat yang menargetkan ekonomi Rusia. "Kita perlu menjaga persahabatan kita dengan (Volodymyr) Zelensky dan (Vladimir) Putin," kata Erdogan, merujuk pada para pemimpin Rusia dan Ukraina.
Sementara itu, kanselir Jerman mengunjungi Moskow sebelum dimulainya permusuhan dan telah berbicara beberapa kali dengan Presiden Rusia Putin, sambil memberikan senjata kepada Ukraina.Kamis lalu, Turki menjadi tuan rumah pembicaraan pertama antara menteri luar negeri Rusia dan Ukraina sejak invasi ke Ukraina dimulai pada 24 Februari.
Scholz memuji upaya Ankara untuk solusi diplomatik sebagai langkah positif dan sangat berguna. "Senjata harus dibungkam sesegera mungkin," katanya, mendesak Putin untuk menghentikan serangan Rusia di Kyiv.
Bagi Guenter Seufert, peneliti di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan, kunjungan Scholz bertujuan untuk menjaga agar Ankara tetap berpihak.
"Tidak ada yang menuntut Turki untuk mematuhi sanksi Barat, tetapi Turki seharusnya tidak mencoba membuka saluran tambahan untuk menghindari sanksi," katanya kepada AFP.
Orang-orang Eropa, menurut Seufert, dengan hati-hati memantau kunjungan Scholz, yang datang ketika Ankara berusaha memperbaiki hubungan dengan saingan regionalnya.
Presiden Israel Isaac Herzog mengunjungi pekan lalu dan Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyusul pada Ahad lalu.