REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Lebih dari 700 warga sipil, termasuk 52 anak-anak, telah menjadi korban perang di Ukraina sejak Rusia menginvasi tiga pekan lalu. Kepala urusan politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Rosemary DiCarlo menyatakan kepada Dewan Keamanan (DK), jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi dan perlu dilakukan investigasi, Kamis (17/3/2022).
"Besarnya korban sipil dan penghancuran infrastruktur sipil di Ukraina tidak dapat disangkal. Ini menuntut penyelidikan dan pertanggungjawaban yang menyeluruh," DiCarlo.
DiCarlo mengatakan kepada 15 anggota DK PBB bahwa badan hak asasi manusia PBB telah mencatat 726 kematian, termasuk 52 anak-anak, dan 1.174 orang terluka, termasuk 63 anak-anak, antara 24 Februari dan 15 Maret. DiCarlo tidak memerinci siapa yang harus disalahkan atas jatuhnya korban tersebut.
"Sebagian besar korban ini disebabkan oleh penggunaan senjata peledak di daerah berpenduduk dengan jangkauan berdampak luas. Ratusan bangunan tempat tinggal telah rusak atau hancur, seperti juga rumah sakit dan sekolah," kata DiCarlo.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memverifikasi 43 serangan terhadap layanan kesehatan di Ukraina. Serangan itu menewaskan 12 orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk petugas kesehatan.
"Dalam konflik apa pun, serangan terhadap layanan kesehatan merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada kepada DK PBB tanpa menyinggung pihak mana yang harus disalahkan.
Ukraina dan sekutu Baratnya menuduh Rusia menyerang warga sipil. Rusia menyebut tindakan militernya di Ukraina sebagai operasi khusus dan membantah menyerang warga sipil, dengan mengatakan hanya menargetkan infrastruktur militer Ukraina.
DK PBB akan memberikan suara bagi seruan yang dirancang Rusia untuk akses bantuan dan perlindungan sipil di Ukraina pada Jumat. Namun para diplomat mengatakan, tindakan itu akan gagal karena tidak mendorong diakhirinya pertempuran atau penarikan pasukan Rusia.
"Kami pikir itu salah. Rusia tidak bisa menembak dulu dan kemudian menyamar sebagai dokter," ujar Duta Besar Albania untuk PBB Ferit Hoxha kepada DK PBB.
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas de Riviere mengatakan, dukungan apa pun untuk rancangan resolusi Rusia akan memberi negara itu lampu hijau untuk melanjutkan perangnya.