REPUBLIKA.CO.ID, WILMINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri India Narendra Modi pada Senin (11/4/2022). Dalam pertemuan virtual itu, Biden akan berbicara tentang konsekuensi perang Rusia melawan Ukraina, dan upaya mengurangi dampak destabilisasi pada pasokan pangan global dan pasar komoditas.
"Mereka akan membahas upaya memperkuat ekonomi global, dan menegakkan tatanan internasional yang bebas, terbuka, berdasarkan aturan untuk meningkatkan keamanan, demokrasi, dan kemakmuran di Indo-Pasifik,” kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Sikap netral India dalam perang Rusia-Ukraina, telah menimbulkan kekhawatiran di Washington. Sikap India ini mendapat pujian dari Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Menurut Lavrov, India menilai situasi secara keseluruhan, bukan hanya secara sepihak.
Belum lama ini, India abstain ketika Majelis Umum PBB memberikan suara untuk menangguhkan Rusia dari kursinya di Dewan Hak Asasi Manusia, karena Rusia terlibat dalam pelanggaran hak dan kejahatan perang. Pemungutan suara itu memiliki hasil 93-24 dengan 58 abstain.
India terus membeli pasokan energi Rusia, meskipun ada tekanan dari negara-negara Barat untuk menghindari pembelian minyak dan gas Rusia. Amerika Serikat juga telah mempertimbangkan sanksi terhadap India atas pembelian sistem pertahanan udara canggih Rusia baru-baru ini.
Bulan lalu, Perusahaan Minyak India yang dikelola negara membeli 3 juta barel minyak mentah dari Rusia untuk mengamankan kebutuhannya. India menolak permohonan dari Barat untuk menghindari pembelian semacam itu.
Namun, India tidak sendirian. Beberapa sekutu Eropa seperti Jerman terus melakukan pembelian energi dari Rusia, meskipun ada tekanan publik untuk mengakhiri kontrak ini.
Laporan media India mengatakan Rusia menawarkan diskon pembelian minyak sebesar 20 persen di bawah harga patokan global. Irak adalah pemasok minyak utama India, dengan pangsa 27 persen. Kemudian Arab Saudi berada di urutan kedua dengan sekitar 17 persen, diikuti oleh Uni Emirat Arab dengan 13 persen dan AS dengan 9 persen.