Sabtu 16 Apr 2022 13:24 WIB

Kampanye Presiden Prancis Soroti Aturan Penggunaan Jilbab

Dua calon presiden Prancis hadapi pertanyaan mengapa jilbab masuk ke kampanye politik

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Muslim Prancis saat berunjuk rasa menentang larangan jilbab. Dua calon presiden Prancis hadapi pertanyaan mengapa jilbab masuk ke kampanye politik. Ilustrasi.
Foto: Reuters
Muslim Prancis saat berunjuk rasa menentang larangan jilbab. Dua calon presiden Prancis hadapi pertanyaan mengapa jilbab masuk ke kampanye politik. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, PERTUIS -- Kandidat calon presiden Prancis Marine Le Pen dan Presiden pejawat Prancis Emmanuel Macron menghadapi putaran kedua yang diperebutkan secara ketat pada 24 April. Mereka berdua dihadapkan oleh perempuan berjilbab yang bertanya mengapa pilihan pakaian harus dimasukkan ke dalam kampanye politik.

Presiden Prancis saat ini memang tidak akan melarang pakaian keagamaan. Akan tetapi dia telah mengawasi penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam dengan bantuan dari tim khusus untuk membasmi dugaan tempat berkembang biaknya radikalisme. Nilai itu dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis.

Baca Juga

Dalam kesempatan terbaru, Macron memperdebatkan seorang perempuan berjilbab dalam pertukaran di siaran France-Info pada Jumat. Dia berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan dia tidak akan mengubah undang-undang apa pun.

Perempuan penanya bernama Sara El Attar berkata merasa terhina oleh komentar Macron sebelumnya ketika menyarankan agar jilbab mengacaukan hubungan antara pria dan perempuan. Dia mengatakan perempuan Prancis telah dihukum beberapa tahun terakhir ini karena syal sederhana, tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidakadilan itu.

El Attar pun mengulangi argumen yang dibuat oleh banyak perempuan a bercadar di Prancis. Dia menyatakan kebanyakan orang secara keliru mengira para laki-laki membuat mereka memakai jilbab dan itu bukan pilihan pribadi.

"Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukanlah obsesi," kata Macron berusaha mempertahankan argumennya.

Sedangkan Le Pen memperlihatkan pandangan seputar jilbab ketika mendapatkan pertanyaan langsung di pasar petani kota selatan Pertuis. Seorang perempuan bercadar biru-putih mendekati Le Pen saat dia melewati penjual ikan dan pedagang untuk menyambut para pendukung.

"Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?" ujar perempuan itu bertanya.

Le Pen membela posisi dalam keputusan untuk pelarangan penggunaan jilbab di tempat umum. Dia menyebut jilbab sebagai seragam yang dikenakan dari waktu ke waktu oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam.

"Itu tidak benar," balas perempuan itu.

"Saya mulai memakai jilbab ketika saya adalah seorang perempuan dewasa. Bagi saya itu adalah tanda menjadi seorang nenek," ujar perempuan itu mencatat bahwa ayahnya pernah bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.

Le Pen menyerukan pelarangan jilbab di jalan-jalan Prancis, sebuah langkah besar lebih jauh dari dua undang-undang yang sudah ada. Larangan jilbab di ruang kelas berlaku pada 2004 dan larangan niqab penutup wajah di jalan-jalan tahun 2010.

Mantan direktur kelompok yang berkampanye melawan Islamofobia Marwan Muhammad mengatakan Macron dan Le Pen telah mengubah Islam di Prancis menjadi sepak bola elektoral. Keduanya mencari dukungan di antara audiens mereka masing-masing.

Menurut Muhammad, posisi Le Pen yang lebih radikal adalah berkah bagi Macron. "Yang dia inginkan adalah menampilkan dirinya sebagai alternatif, padahal sebenarnya kebijakannya selama lima tahun terakhir telah merusak umat Islam," katanya.

Mahasiswa bernama Naila Ouazarf menyatakan ingin memiliki presiden yang menerima dirinya apa adanya, termasuk menggunakan jilbab. Dia mengatakan pakaiannya mencerminkan agama yang diyakininya.

Ouazarf akan menentang hukum yang dijanjikan jika Le Pen menjadi presiden. "Saya akan mengambil denda setiap kali saya keluar daripada melepas jilbab," ujar perempuan berusia 19 tahun ini.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement