REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China dan Rusia akan terus meningkatkan koordinasi strategis, terlepas dari gejolak internasional yang saat ini sedang berlangsung. Kementerian Luar Negeri China pada Selasa (19/4/2022) mengatakan, Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng memberikan jaminan ini kepada Duta Besar Rusia untuk China, Andrey Denisov.
Sebelumnya China menolak tekanan dari Uni Eropa untuk mengambil sikap tegas terhadap Rusia. China juga telah menawarkan jaminan kepada Uni Eropa untuk mendukung perdamaian di Ukraina, dengan cara mereka sendiri.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) China-Uni Eropa awal April lalu, Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan kepada para pemimpin Uni Eropa bahwa, Beijing akan mendorong perdamaian dengan “caranya sendiri”. Sementara Presiden Xi Jinping berharap Uni Eropa akan mengambil pendekatan "independen", terkait invasi Rusia di Ukraina.
Xi mengatakan kepada para pemimpin Uni Eropa bahwa, akar penyebab krisis Ukraina adalah ketegangan keamanan regional di Eropa. Menurut Xi, solusinya adalah mengakomodasi masalah keamanan dari semua pihak terkait.
Sementara Li mengatakan, China selalu mengedepankan perdamaian dan mempromosikan negosiasi. China bersedia untuk memainkan peran konstruktif dengan komunitas internasional.
Dalam KTT yang digelar secara virtual, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan, para pemimpin dari kedua belah pihak bertukar pandangan yang berlawanan pada banyak topik. Tetapi von der Leyen menyatakan harapan bahwa, China dapat menggunakan pengaruhnya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk meyakinkan Rusia menghentikan perang di Ukraina.
“Kami meminta China untuk membantu mengakhiri perang di Ukraina. China tidak bisa menutup mata terhadap pelanggaran Rusia terhadap hukum internasional. Setiap upaya untuk menghindari sanksi atau memberikan bantuan kepada Rusia akan memperpanjang perang,” kata Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, dilansir Aljazirah.
China telah menjalin hubungan keamanan dan ekonomi yang lebih dekat dengan Rusia. China telah menolak untuk mengutuk operasi militer khusus Rusia di Ukraina. Beijing telah berulang kali mengkritik sanksi Barat yang ilegal dan sepihak terhadap Rusia. Beberapa minggu sebelum invasi 24 Februari, China dan Rusia mendeklarasikan kemitraan strategis “tanpa batas”.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian memperingatkan bahwa, China tidak menyetujui penyelesaian masalah melalui sanksi. China menentang sanksi sepihak dan yurisdiksi yang tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
"Beijing tidak akan dipaksa untuk memilih pihak atau mengadopsi pendekatan teman-atau-musuh yang sederhana. Kita harus menolak pemikiran Perang Dingin dan memblokir konfrontasi," kata Zhao.
Zhao menggambarkan AS sebagai agresor. “Sebagai biang keladi dan penghasut utama krisis Ukraina, AS telah memimpin NATO untuk terlibat dalam lima putaran ekspansi ke arah timur dalam dua dekade terakhir setelah 1999,” katanya.
Zhao menambahkan bahwa, keanggotaan NATO meningkat hampir dua kali lipat dari 16 menjadi 30 negara. Hal ini mendorong Rusia ke tepi jurang. China khawatir Uni Eropa mengambil isyarat dari AS dan mengadopsi garis yang lebih keras pada kebijakan luar negerinya. Pada 2019 Uni Eropa tiba-tiba beralih dari bahasa diplomatik lunak, menjadi menilai China sebagai saingan sistemik.
Uni Eropa juga telah bergabung dengan AS dan Inggris dalam memberikan sanksi kepada pejabat China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan tindakan keras di Hong Kong. Beijing telah membalas tindakan Uni Eropa dengan membekukan implementasi kesepakatan investasi Uni Eropa-Cina yang sudah dinegosiasikan.